MAKALAH SISTEM PERWAKILAN POLITIK DAN PROBLEM AKUNTABILITAS

AKUNTABILITAS

DI SUSUN:


BENY HERNANDA (160802050)


DOSEN PEMBIMBING
HELMI, S. IP., M. IP



    FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU PEMERINTAHAN  
UIN AR-RANIRY DARUSALLAM BANDA ACEH
TAHUN AJARAN 2016/2017






BAB I

PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Konstruksi demokrasi di dalam sistem politik Indonesia menggunakan sistem perwakilan (representative democracy). Sistem ini berbeda dengan sistem demokrasi langsung, di mana rakyat terlibat secara langsung dalam proses-proses politik tanpa melalui perwakilan. Karena itu, esensi penting di dalam sistem perwakilan adalah adanya sekelompok kecil orang yang memiliki peran besar di dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan-keputusan politik, dan sekelompok besar orang yang mewakilkan kepentingan-kepentingannya kepada wakil yang dipilihnya. Proses mewakilkan itu dilakukan melalui pemilu yang bebas dan adil.
Sistem perwakilan sudah mulai digunakan sesudah Indonesia merdeka. Hanya saja, institusi yang menjalankan fungsi perwakilan itu tidak semuanya terkonstruksi secara demokratis. Pada masa pemerintahan Soekarno maupun Soeharto, terdapat wakil rakyat yang tidak dipilih melalui pemilu, seperti utusan golongan. Walaupun para wakil ada yang dipilih melalui pemilu, hal itu tidak dilakukan secara demokratis. Di samping itu, mengingat proses-proses politik lebih cenderung bercorak elitis, kemudian yang terjadi adalah banyak diantara para wakil rakyat itu lebih mengedepankan dirinya sebagai trustees representation tanpa reserve. Cenderung bergerak sendiri-sendiri seolah-oleh memperoleh kepercayaan penuh dari para pemilihnya. Konsekuensinya, para wakil itu kurang menunjukkan dirinya sebagai delegates representation, yaitu berusaha memperjuangkan kebijakan-kebijakan sebagaimana diinginkan oleh para konstituen. Di awal kemerdekaan, sistem perwakilan politik kita memiliki warna demokratis. Hanya saja, sistem itu tidak bekerja secara efektif dan efisien.
Adapun makalah  ini memperbincangkan sistem perwakilan politik, konsep perwakilan politik, masalah perwakilan kelompok mariginal, termasuk di dalamnya adalah adanya upaya untuk membangun sistem dua kamar. Terakhir, berkaitan dengan relasi antara wakil dengan terwakil.
1.2    Rumusan Masalah
1.             Apa yang dimaksud dengan konsep perwakilan politik ?
2.             Bagaimna yang dimaksud dengan sistem quasi dua kamar, dan masalah perwakilan kelompok marginal secara politik ?
3.             Bagaimana relasi wakil terwakili dan akuntabilitas dalam sistem perwakilan politik ?
1.3         Tujuan Penulisan
1.       Agar mahasiswa dapat mengetahui tentang konsep perwakilan politik.
2.       Agar mahasiswa dapat mengetahui tentang quasi dua kamar dan masalah perwakilan kelompok marginal secara politik.
3.       Agar mahasiswa dapat mengetahui relasi wakil terwakili dan akuntabilitas.






BAB II
PEMBAHASAN

2.1         Konsep Perwakilan Politik
Perwakilan (reprentation) adalah konsep bahwa seseorang atau suatu kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk berbicara  dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar. Dengan ini anggota dewan perwakilan rakyat pada umumnya mewakili rakyat melalui parpol. Hal ini dinamakan perwakilan yang bersifat politik (political representation).[1]
Istilah perwakilan sendiri baru muncul pada masa Romawi kuno, meskipun tidak secara langsung bermakna politik. Di dalam bahasa Romawi, representation berasal dari kata represaentare. Menurut Pitkin, di dalam bahasa Latin klasik, “represaentare meant simply to make present or manifest or to present again, and it was applied almost exclusively to inanimate objects”. Dengan kata lain, kata represaentare berartikan adanya seseorang atau sekelompok orang yang mewakili orang lain.
Pada Abad Pertengahan, kata perwakilan banyak dipakai oleh gereja. Pitkin memberi gambaran, “the pope and cardinals were spoken of as representing the person of Christ and the Apostles-not as their agents, but as their image and embodiment, their mystical re-incorporation'”. Setelah itu, seiring dengan berkembangnya lembaga-lembaga politik di Eropa, khususnya setelah lahirnya lembaga parlemen, kata perwakilan dipakai sebagai seseorang atau sekelompok orang yang mewakili orang lain.
Pada abad ketujuh belas, kata perwakilan sudah dikaitkan dengan agency and acting for others. Di sini, konsep perwakilan sudah berkaitan dengan adanya sekelompok kecil orang yang bertindak atas nama atau mewakili orang banyak (masyarakat luas).
Sebagaimana dikemukakan oleh Hannah Pitkin, perwakilan termasuk konsep yang sering diperdebatkan maknanya di dalam ilmu politik. Bahkan, perdebatan itu terus berlangsung di awal-awal abad ke 21. Perdebatan itu, di antaranya, berkaitan dengan apa yang harus dilakukan oleh para wakil ketika berhadapan dengan terwakil, yaitu apakah akan bertindak sebagai delegates ataukah sebagai trustees . Sebagai delegates, para wakil semata-mata hanya mengikuti apa yang menjadi pilihan dari para konstituen.
Mengapa kedaulatan harus ditangan rakyat? karena, disamping rakyat adalah pemerintah, juga  merupakan sebuah ketetapan dalam kehidupan jika di dalam masyarakat terdapat penguasa yang berusaha memimpin rakyat supaya tercipta kesejahteraan dan kedamaian dalam lingkungan masyarakat. Fungsi pemerintah adalah melindungi warga negara dan harta benda yang dimilikinya, mencegah tindakan agresif mereka yang berkuasa terhadap mereka yang lemah, menyelenggarakan keadilan. Oleh karena itu, kedaulatan harus berada ditangan rakyat, jika tidak, akan ada sekelompok orang yang menindas kelompok yang lain yang tidak berkuasa, kedaulatan ada ditangan rakyat agar rakyat mampu membatasi kekuasaan kelompok kecil yang memerintah.[2]
Sementara itu, sebagai trustees berarti para wakil mencoba untuk bertindak atas nama para wakil sebagaimana para wakil itu memahami permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh konstituen. Di antara dua pandangan itu, terdapat pandangan ketiga, yakni ketika para wakil bertindak sebagai politico. Di sini, para wakil bergerak secara kontitum antara delegates dan trustees. Menurut Pitkin, kita tidak harus memadukan dua pandangan seperti itu.
Dalam pandangan dia, yang lebih penting adalah bagaimana membangun relasi yang baik antara wakil dan terwakil. Di satu sisi, para wakil harus bertindak sebagaimana dikehendaki oleh terwakil (the autonomy of the represented), sehingga akuntabel. Di sisi yang lain, mereka juga memiliki kemampuan secara lebih independen dari keinginan-keinginan para terwakil.
Berangkat dari argumentasi seperti itu, Pitkin lalu mengelompokkan perwakilan ke dalam empat kategori, yaitu :
1.    Perwakilan deskriptif (descriptife representation), yaitu adanya para wakil yang berasal dari berbagai kelompok yang diwakili, meskipun tidak bertindak untuk yang diwakilinya. Para wakil biasanya merefleksikan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat tetapi tidak secara inheren melakukan sesuatu untuk kepentingan orang-orang yang diwakilinya tersebut
2.    Perwakilan simbolik (symbolic representation), dimana para wakil melakukan symbol perwakilan dari kelompok atau bangsa yang diwakili
3.    Perwakilan substantif (subtantive representation), dimana para wakil berusaha bertindak sebaik mungkin atas keinginan dan kehendak orang-orang yang diwakilinya atau publik.
4.    Perwakilan formal (formalistic representation), di dalam kategori ini perwakilan di pahami di dalam 2 demensi yaitu, otorisasi dan akuntabilitas. Dimensi pertama berkaitan dengan otorisasi apa saja yang diberikan kepada para wakil. Ketika wakil melakukan sesuatu di luar otoritasnya, dia tidak lagi menjalankan fungsi perwakilannya. Sedangkan dimensi akuntabiltas adanya pertanggung jawaban dari para wakil tentang apa yang telah dikerjakan.
Dari pembagian perwakilan di atas dapat di simpulkan ada 4 hal ketika memperbincangkan konsep perwakilan.

ü Adanya sekelompok orang yang mewakili, yang termanifestasi kedalam bentuk lembaga perwakilan, organisasi, gerakan, dan lembaga-lembaga negara yang lain.
ü Adanya sekelompok orang yang diwakili, seperti konstituen dan klien.
ü Adanya sesuatu yang diwakili,  seperti pendapat, kepentingan, dan perspektif.
ü Konteks politik dimana perwakilan itu berlangsung.[3]

Perwakilan politik berarti adanya relaksi antara wakil dan terwakili, yang terbalut oleh kepentingan-kepentingan baik kepentingan terwakili maupun wakil, di dalam konteks politik tertentu. Karena berkaitan dengan kepentingan, relasi antara wakil  dan  terwakili tidak lepas dari adanya transaksi dan akuntabilitas. Baik transaksi dan akuntabilitas biasa terjadi saat pemilu. Ketika itu antara wakil dan terwakili, misalnya biasa memperbincangkan kepentingan-kepentingan atau kebijakan yang hendak di perjuangan oleh para wakil. Pada saat bersamaaan, para pemilih juga bisa melakukan  evaluasi, apakah transaksi sebelumnya sudah dilaksanakan oleh para wakil atau tidak, para wakil dapat dikatakan accountable manakala para pemilih memilihnya kembali.
Meskipun asas perwakilan politik menjadi sangat umum, akan tetapi ada beberapa kalangan merasa bahwa partai politik dan perwakilan berdasarkan kepada kesatuan-perwakilannya. Kesatuan politik semata-mata, mengabaikan kepentingan-kepentingan dan kekuatan-kekuatan lain yang ada di dalam kalangan masyarakat. Beberapa Negara seperti Indonesia telah mencoba untuk mengatasi persoalan ini dengan mengikut sertakan wakil dari golongan masyarakat. Umumnya boleh di katakana bahwa pengangkatan wakil rakyat dimaksudkan sebagai koreksiter terhadap perwakilan politik.
Ada dua pandangan dalam sistem perwakilan ini, yaitu  pandangan mandat dan akuntabilitas. Di dalam pandangan mandat, melihat bahwa sebuah pemilihan ada untuk memilih kebijakan yang baik atau kebijkan yang tegas dari para politisi. Partai atau para kandidat menawarkan rencana kebijakan selama kampanye dan menjelaskan bagaimana kebijakan tersebut nanti akan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat yang akan mendukungnya.
Selain itu, masyarakat (warganegara) juga memutuskan rencana kebijakan mana yang akan diimplementasikan dan politisi mana yang sesuai dengan pandangan mereka. Selanjutnya, pandangan kedua dalam sistem perwakilan akuntabilitas melihat bahwa pemilihan dapat menghasilkan sebuah pemerintahan yang responsible sebagai hasil dari apa yang telah mereka lakukan sebelumnya. Masyarakat dimungkinkan untuk selalu mengevaluasi kebijakan yang telah dibuat, dengan melakukan kontrol dan partisipasi aktif.
Namun bagaimanapun juga, kedua pandangan tersebut tetaplah memiliki masalah. Perwakilan adalah sebuah isu sebab para politisi memiliki tujuan, kepentingan, dan nilai mereka sendiri, dan mereka menyadari bahwa apa yang akan dilakukannya nanti tidaklah sepenuhnya diketahui oleh masyarakat meski sebelumnya kebijakan-kebijakan yang akan diusung sudah diketahui. Sulit dan belum ada jaminan yang pasti apakah kebijakan dan visi yang akan diimplementasikan nanti oleh para politisi bisa benar-benar sesuai dengan “kesepakatan” yang telah dibuat bersama pemilih sebelumnya. Jadi mungkin sekali terjadinya praktik penyelewengan wewenang oleh para kandidat.
Wujud formal kelembagaan perwakilan di indonesia memang sudah ada sejak dulu. Adnya konstribusi kekuasaan yang tersentralisasi pada masa pemerintahan soeharto, khususnya dilembaga kepresidenan/ pemerintah daerah atau eksekutif. Sebgaai konsekuensinya, lembaga perwakilan rakyat lebih memmperhatikan kekuasaan dan kepentingan presiden atau eksekutif dari pada rakyat yang memilihnya. Adanya istilah DPR/D sebagai gambaran betapa lembaga ini berada di bawah bayang eksekutif. Sebgaian besar formulasi kebijakan- kebijakan pemerintah dilakukan oleh eksekutif, sementara DPR/D lebih berperan sebgai pemberi keabsahan bagi kebijakan-kebijakan itu. Selain itu, fungsi kontrol yang seharusnya dilakukan oleh DPR/D juga tidak dilakukan dengan baik. Dengan kata lain, mekanisme checks and balance tidak cukup kuat.
Pada masa Soeharto desain kelembagaan untuk membangun lembaga perwakilan yang memiliki otoritas kejurusan. Maksudnya lembaga itu tidak saja menjalankan perwakilan melainkan juga memperjuangkan kepentingan-kepentingan dari konstituen atau rakyat yang di wakilinya penguatan ini terlihat dari adanya pengesksplisitan fungsi DPR, yaitu fungsi legislasi anggaran dan kontrol. Dewan perwakilan rakyat adalah lembaga tinggi Negara dalam system ketetanegaraan indonesia yang merupakan lembaga  perwakilan rakyat dan memegang kekuasaan membentuk undang-undang.[4] Selain itu, DPR/D juga diberikan otoritas di dalam mengalokasikan dan mendistribusikan sumber-sumber keuangan melalui APBN/D memperjuangkan kepentingan-kepentingan konstituen melalui kebijakan anggaran. Selain itu, DPR/D juga memiliki otoritas di dalam mengalokasikan anggran untuk dirinya agar bisa menjalankan fungsi-fungsi perwakilan lebih maksimal.
Penguatan itu, sering kali, bukan hanya di DPR, melainkan juga di DPRD. Terdapat perbedaan pendapat dalam masalah ini yaitu berkaitan dengan pemahaman negara kesatuan , disatu sisi, DPRD merupakan lembaga legislatif didaerah. Dalam arti, posisi DPRD memiliki kedudukan yang sama dengan DPR. Dan di sisi lain, di dalam negara kesatuan, yang berfungsi sebgai legislatif hanyalah DPR, dalam arti, DPRD hanya sebagai bagian dari pemerintah daerah yang memiliki tugas untuk mengimplementasikan kebijakan pemerintah pusat.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, DPRD merupakan bagian dari Pemerintahan Daerah. Di dalam  pasal 13 UU No. 5 Tahun 1974 dikatakn “ Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah”. DPRD, dalam posisi seperti ini berada dalam subordinasi Kepala Daerah. Relasi diantara keduanya tidak seimbang. Proses perumusan, pembuatan, dan implementasi kebijakan-kebijakan di daerah lebih banyak di tentukan oleh kepala daerah dari pada DPRD.
Setelah runtuhnya pemerintahan Soeharto, terdapat upaya untuk membangun checks and balance  di daerah. DPRD diberikan otorita yang lebih besar. Hal ini trelihat dalam UU No. 22 Tahun  1999 yang menyatakan bahwa DPRD merupakan Lembaga perwakilan rakyat di darah dan badan legislatif daerah. DPRD tidak hanya memiliki kekuasaan dibidang legislasi namun merumuskan dan menetapkan perda, memiliki otoritas unutk memilih, mengangkat, dan mengusulkan pemberhentikan kepala daerah.
Kekuasaan yang diberikan kepada DPRD merefleksikan bahwa DPRD sebagai kekuatan legislatif di daerah, posisinya tidak jauh beda dengan DPR dipusat. Dalam posisi seperti ini, mekanisme checks and belance di daerah diharapkan bisa berjalan dengan baik. Kemudian, kekuasaan itu direvisi, karena adanya kritikan bahwa dengan adanya perubahan seperti itu, relasi antara eksekutif dan legislatif lebih cenderung kepada model legislative heavy. Kontruksi seperti ini dianggap menjauhkan indonesia dari negar kesatuan, sehingga lebih kepada negara liberal. Karena, daerah dalam kontruksi seperti ini, dipandang seolah-oleh berdiri sendiri tanpa ada ikatan kuat dengan pemerintahan pusat.
Kritik ini berasal dari argumentasi bahwa DPRD sebgai lembaga legislatif yang tidak bisa dilepaskan dari pemerintahan pusat, DPRD tidak bisa membuat sebuah perda tanpa merujuk pada peratuaran-peraturan yang dimilik oleh pemerintah pusat. Rivisi UU itu terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2004 adanya pengurangan fungsi otoritatif DPRD. DPRD memang masih disebut sebgai lembaga perwakilan rakyat. Namun bukan lembaga perwakilan rakyat di daerah, melainkan lembaga perwakilan daerah. Selain itu,DORD tidak lagi disebut sebgai badan legislatif daerah, meskipun memiliki fungsi legislasi disamping fungsi-fungsi anggaran dan pengawasan. Terhadap kepala daerah DPRD tidak lagi memiliki otoritas untuk mengusulkan pemberhentian yang berkaitan dengan LPJ.
Meskipun demikian, posisi DPRD Terlihat dalam UU No. 32 Tahun 2004 bahwa posisi DPRD lebih kuat dibandingkan dengan posisi DPRD pada masa ORBA. Hal ini tergambarkan dalam 3 fungsi pokok yang dimiliki DPRD,yaitu menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran. Selain itu DPRD juga memiliki hak yang tidak berbeda jauh dengan DPR.

2.2          Sistem Quasi Dua Kamar
Sistem quasi dua kamar adalah sistem praktik pemerintahan yang menggunakan dua kamar legislatif atau parlemen yang semu, yakni sebuah sistem yang seakan-akan didalamnya terdapat dua parlemen ataupun  lebih, namun sebenarnya tergabung di dalam satu kelembagaan.
Biasanya, sistem ini merupakan sistem campuran (modifikasi) yang dibentuk atas situasi dan kondisi Politik ketatanegaraan di masing-masing negara.
Jadi, parlemen dua kamar (bikameral) adalah parlemen atau lembaga legislatif yang terdiri atas dua kamar. Di Britania Raya, sistem dua kamar ini di praktikkan dengan menggunakan Majelis Tinggi (house of Lords) dan Majelis Rendah (House of Commons). di Amerika Serikat, sistem ini diterapkan melalui kehadiran senat dan Dewan perwakilan.
contoh:
         Di Indonesia, Sistem parlemennya, anggota DPR merangkap juga anggota MPR , dan hal inilah sehingga dianggap parlemen satu kamar. Namun apabila kita mengkaji lebih jauh ternyata anggota MPR tidak hanya dihuni oleh anggota DPR akan tetapi masih ada anggota lain yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pada era pasca amandemen, sistem parlemen kita berubah, dan menganut sistem quasi 2 kamar. Konsep Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang ada bersifat legislasi terbatas. DPD hanya memberi pandangan dan pertimbangan terbatas pada Undang-Undang yang menyangkut daerah. Selain itu, sistem yang sekarang dianut oleh indonesia sebenarnya unikameral, tetapi kenyataannya bisa disebut satu setengah kamar. Jika akan menggunakan sistem bikameral, kedua badan yaitu Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), harus diberi hak yang sama, yaitu mempunyai fungsi legislasi.
Sebelum amandemen, institusi yang menjalankan fungsi perwakilan adalah MPR dan DPR/D. MPR merupakan lembaga tinggi negara yang memiliki wewenang dalam mebuat kebijakan- kebijakan paling strategis. Di antara wewengangnya dalah MPR bisa melakukan perubhaan-perubahn terhadap konstitusi, menetapkan GBHN, dan memilih presiden/ wakil presiden. Karena fungsinya yang strategis, keanggotaan MPR terdiri dari DPR, dan wakil utusan daerah dan golongan-golongan. DPR dikonstruksikan sebagai refleksi hasil pemilu. Sementara, utusan daerah merupakan wakil dari daerah- daerah (provinsi ) sedangkan utusan golongan merupakan perwakilan dari golongan-golongan yang ada dalam masyarakat, khususnya golongan-golongan yang tidak atau belum terwakili di DPR melalui pemilu.
Namun, DPR dan MPR tidak terkonstruksi secra demokratis, yaitu para anggotanya yang terpilih melalui pemilu hanya beberapa orang dan juga terdapat orang-orang yang terpilih melalui tunjukan (appointed). Agar kontsruksi lembaga perwakilan itu lebih demokratis, konstitusi baru yang sudah diamandemenkan lalu mengamanatkan agar semua orang yang duduk di lembaga perwakilan politik dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu. Dengan demikian, para wakil bisa menjalankan mandat yang diberikan oleh rakyat kepadanya, yaitu membuat keputusan-keputusan politik sebagaimana diinginkan oleh rakyat. Akhirnya para wakil memiliki akuntabilitas kepada masyrakat, secara politik, adanya akuntabilitas itu akan terlihat manakala para wakil rakyat itu bisa dipilih kembali di dalam pemilu.[5]
Melalui sitem bikmeral ini, MPR tidak lagi terdiri dari anggota DPR dan utusan golongan-golongan, melainkan terdiri dari para anggota DPR dan anggota DPD. Konstruksi bikameral itu berangkat dari pandangan bahwa lembaga perwakilan yang ada mencerminkan dua perwakilan. DPR merupakan lembaga yang terkonstruksi sebgai wakil dari (penduduk). Sementaraitu, DPR merupakan lembaga yang terkonstruksi sebagai wakil dari daerah. Dengan ini Indonesia merupakan negara bangsa yang terdiri dari daerah-daerah, maka diperlukan para wakil yang memperjuangkan kepentingan-kepentingan daerah.
Pada masa lalu, MPR menjalankan fungsinya dalam waktu tertentu saja, yaitu 5 tahun saja. Karena yang menjalankan fungsi perwakilan sehari-hari hanyalah para anggota DPR. Maka saat ini, anggota MPR (yaitu DPR dan DPR ) menjalankan fungsi perwakilan sehari-hari. Sebagaimana anggota DPR para anggota DPD dituntut bekerja full time.
Sementara itu, DPR berbeda dengan MPR yang menyangkut dimensi kualitas. DPR harus mempersyaratkan kualitas yang lebih baik ketimbang MPR, karena mereka bekerja penuh selama 5 tahun. Mereka harus lebih sensitif terhadap apa yang berkembang dalam masyarakat, mereka harus mampu mengangkat aspirasi masyarakat karena mereka setiap hari menghadapi masyarakat. Hal itu berbeda dengan MPR yang hanya mengadakan sidang yang sangat terbatas dalam waktu lima tahun.[6]
Dikarenakan sistem bikameral yang dipakai masih snagat terbatas, yaitu berkaitan dengan kebijakan-kebijakan strategis mengenai daerah, peran DPD juga masih terbatas. meskipun saat ini sudah terdapat lembaga DPD, ritme kerja dan performance lembaga perwakilan itu tidak berbeda jauh dengan sebelumnya adanya DPD. DPD awalnya dirancang sebagai lembaga perwakilan daerah yang bisa menjalankan fungsi-fungsi perwakilan seperti fungsi legislasi, kontrol dan anggaran, pada kenyataannya hanya menjalankan sebagian fungsi saja. Karena itu, konsep dua kamar di dalam sistem perwakilan lebih tepat disebut sebagai “ sistem satu setengah kamar “.
2.3         Perwakilan Kelompok Mariginal Secara Politik
Salah satu masalah yang sering diperbincangkan di dalam sistem perwakilan adalah bagaimana mengakomondasi kelompok-kelompok yang marginal secara politik. Yang termasuk di dalam kelompok demikian adalah kelompok perempuan dan minoritas.
Politik identik dengan laki-laki. Mitos yang berkembang di masyarakat, perempuan tidak boleh bermain dan berkiprah di ranah politik. Akibatnya menjadi semakin sulit bagi perempuan untuk mengonsolidasikan posisi dan kedudukanya dalam kancah ini. Sedikitnya proporsi keberadaan perempuan berperan dan berpartisipasi aktif di institusi-institusi politik, semakin mempersempit ruang gerak,  sekaligus suara perempuan yang terwakili. Kondisi ini dipicu oleh kurangnya suara perempuan yang terlibat dalam dunia politik, dengan kata lain kemampuan komunikasi politik yang kurang. Dominannya pernyataan politik yang diberikan oleh para aktor politik dan politisi laki-laki di media massa, semakin menyurutkan eksistensi perempuan.[7]
Dalam sistem negara demokrasi liberal, upaya untuk mengakomodasi kelompok-kelompok marginal itu dilakukan melalui pemberian kesempatan yang sama kepada semua warga negara (equal opportunity) untuk mengambil bagian di dalam proses-proses politik, seperti adanya kesempatan yang sama untuk memilih dan dipilih. Semua warga negara memiliki kedudukan yang sama, tanpa mempertimbangkan karakteristik-karakteristik dasar seseorang, untuk mencalonkan diri sebagai calon wakil rakyat, misalnya baik di dalam jabatan parlemen maupun didalam jabatan eksekutif. Kalaupun kemudian terdapat persyaratan-persyaratan tertentu di dalam menduduki jabatan dasar tertentu seperti jenis kelamin, etnisitas, warna kulit dan sejenisnya. Kerangka kesempatan yang sama seperti ini telaj di masukkan di dalam perundang-undangan yang berkaitan dengan pemilihan para wakil rakyat.
Studi perbandingan di berbagai negara, misalnya, menunjukkan bahwa keelompok perempuan yang menjadi wakil rakyat itu jumlahnya jauh lebih sedikit kalau dibandingkan dengan kelompok laki-laki. Kelompok-kelompok minoritas juga sulit menembus lembaga perwakilan, meskipun sudah ada kesempatan yang sama. Halangan-halangan kultural, seperti adanya konstruksi nilai-nilai tertentu yang memungkinkan adanya pemihakan-pemihakan kepada kelompok kelompok tertentu, dan halangan-halangan struktural seperti adanya pemihakan-pemihakan akibat sistem tertentu, sering dipandang sebagai penyebab mengapa kesempatan yang sama itu masih saja tidak memungkinkan adanya kelompok-kelompok marginal menjadi bagian dari para wakil.
Pesan perempuan (women’s messages) dan perempuan adalah pesan (women Amerika Serikat a message) perlu di perjelas dan dipahami oleh perempuan. Sering kali meskipun perempuan mempunyai ruang dan posisi yang menguntungkan di perlemen, baik sebagai ketua fraksi atau ketua DPRD, perempuan belum mampu memperjuangkan suara perempuan, kebutuhan perempuan dan proporsi pembagian persoalan kesejahteraan dan keadilan bagi perempuan. Ketika perempuan mempunyai andil untuk bicara, perjuangan terhadap kelompok perempuan dan anak-anak serta kaum minoritas yang lain, belum mampu secara maksimal dikedepankan, dibandingkan persoalan atau masalah yang dihadapi umum yang lebih memihak kepentingan dominan laki-laki.[8]
Terdapat gagasan untuk memberikan kekhususan terhadap kelompok-kelompok marginal itu melalui kebijakan afirmatif (affirmative action policy). Kelompok-kelompok yang termagianalkan secara politik itu pada kenyataanya tidak memiliki titik pijak yang sama ketika harus bersaing dengan kelompok-kelompok yang lain. Implikasinya, mereka selalu kalah di dalam persaminga.
Di indonesia, kebijakan khusus itu diberikan kepada kelompok perempuan atau yang dikenal sebagai kebijakan kuota. Kebijakan semacam ini dikeluarkan setelah memperoleh desakan dari berbagai kelompok yang menginginkan adanya kesempatan yang lebih besar kepada politisi perempuan untuk duduk di lembaga perwakilan rakyat. Berikut ini tabel presentase perempuan yang duduk di lembaga perwakilan relatif kecil.


Tabel diatas  menunjukkan presentase jumlah perempuan yang terpilih sebagai anggota DPR justru meningkat tajam pada pemilu 2009, menjadi 18, 04 %. Ini merupakan jumlah presentase tertinggi kalau dibandingkan dengan pemilu- pemilu sebelumnya. Realitas demikian seiring dengan analisis warhidah siregar (2007) bahwa, untuk meningkatkan jumlah kursi perempuan di DPR/D, Indonesia sebaiknya menggunakan sistem pemilu dengan cara membuka pendaftar terbuka.
Para perempuan calon legislatif, maupun yang sudah menjadi anggota, sekaligus para kepala pemerintahan daerah, masih kurang mampu dan bisa memanfaatkan peran khalayak politik mereka yang perempuan. Selama ini khalayak perempuan hanya menjadi penonton/spectator politik, sehingga keterlibatan aktif auara mereka tidak mampu diraih. Keterlibatan perempuan dalam hal jumlah atau kuantitas saja yang diperjuangkan. Tetapi, isu-isu serius perempuan seperti kesejahteraan perempuan, jaminan kesehatan, kehidupan perempuan, pekerjaan perempuan, dan masih banyak hal yang kurang digunakan sebagai amumisi retorika politik untuk dibawa ke ranah publik yang lebih besar bagi perjuangan kesetaraan dan keadilan gender bagi kaum perempuan di tanah air.[9]
Kebijakan afirmatif itu tidak lagi bermakna penting bagi pemilu 2009. Dalam pemilu ini, penentuan siapa yang akan terpilih unutk mewakili partai yang memperoleh alokasi kursi di DPR/D tidak lagi  didasarkan pada nomor urut, melainkan pada perolehan suara terbanyak. Keputusan alokasi kursi berdasarkan perolehan suara terbanyak itu dikeluarkan oleh MK pada pemilu 2009.
Kebijakan yang didasarkan pada keputusan MK itu pada awalnya ditentang oleh banyak aktivis perempuan. Dalam pandangan mereka, perempuan harus memperoleh perhatian khusus. Kebijakan suara terbanyak, dipandang hanya menguntungkan politisi laki-laki. Konstitusi memberikan jaminan bahwa ada perwakilan kelompok-kelompok tertentu di MPR, berupa utusan golongan. Setelah terjadi perubahan didalam konstitusi, semua para wakil rakyat harus dipilih melalui pemilu. Konstituensinya, semua kelompok yang hendak mewakili rakyat, harus ikut serta di dalam pemilu, atau berafiliasi kepada partai tertentu untuk mengikuti pemilu. Hanya saja, secara kelembagaan, proses pemilu yang terbuka lebih menyulitkan bagi kelompok-kelompok marginal untuk mewakili wakil di lembaga perwakilan rakyat. Hal ini terlepas dari realita s bahwa par
 wakil itu harus memperoleh dukungan dalam jumlah tertentu. Kelompok-kelompok marginal itu memiliki kesulitan di dalam menempatkan wakilnya apabila jumlahnya yang terbatas.

2.4         Relasi Wakil Terwakili dan Akuntabilitas
Secara substansial, perwakilan berarti adanya para wakil yang bertindak sesuai dengan kepentingan  yang diinginkan oleh orang yang diwakilinya. Seacara kelembagaan, sudah diupayakan untuk membangun relasi yang lebih baik antara wakil dengan terwakili. Adanya sistem pendapilan yang sesuai. Pemilu 2004 merupakan contohnya, melalui sistem ini, teridentifikasi lebih jelas tentang siapa yang mewakili dan untuk siapa diwakilikannya dan dari daerah mana. Para wakil bisa terpilih karena mewakili orang dan daerah tertentu. Sebaliknya, para wakil pemilih juga bisa mengetahui siapa yang mewakili mereka dan daerahnya. Baik di DPR maupun  DPRD.
Dalam pasal 1 ayat 2 Undang-undang dasar 1945 dinyatakan dengan tegas, bahwa “kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR.”kedaulatan ada ditangan rakyat artinya, rakyat pada dasarnya memiliki kekuasaan dalam kehidupan bernegara. Tetapi, karena rakyat merupakan entitas yang sangat kompleks dan mengingat jumlahnya yang sangat besar dan variasi pengelompokkannya yang sangat rumit karena berhimpitan segala macam elemen seperti agama, etnisitas, kelas sosial dll, maka kedaulatan tersebut tidak secara langsung dilaksanakan sendiri oleh rakyat. Kedaulatan dilakukan melalui sistem perwakilan. Oleh karena itu diperlukan majelis, yang merupakan perwakilan dari seluruh rakyat indonesia. Tetapi, proses penetuan aturan dalam membentuk dan mengisi lembaga perwakilan bukanlah sebuah proses yang bersifat formal-legalistik atau yuridis melainkan merupakan proses politik dimana kepentingan merupakan penentu utama. Bahwa politik selalu berhungan dengan kepentingan.[10]
Secara kelembagaan, para wakil juga didorong untuk mengadakan kunjungan secara rutin ke daerah pemilihannya. Melalui program ini, para wakil rakyat nisa mengetahui permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat di daerah pemilihannya. Pada saat itu pula, masyarakat akan bebas menyalurkan aspirasi kepada wakilnya.
Melalui kegiatan seperti ini, para wakil rakyat berusaha memperjuangkan kepentingan dan berupaya menyelesaikan permasalahan memperjuangkan kepentingan dan berupaya menyelesaikan permasalhan di daerah pemilihannya melalui kebijakn-kebijakan  yang dibuat bersama pemerintah. Para wakil juga bisa menyalurkan solusi pemecahan untuk menjawab tuntutan masyarakat.
Melalui proses pengumpulan berbagai masukan dan memperjuangkan keputusan-keputusan politik. Selain itu, secara politik, mekanisme seperti ini juga memungkinkan terjadinya akuntabilitas dari wakil rakyat. Secara politik, para wakil rakyat dikatakan akuntabel ketika masyarakat memberi sebuah pujian dengan memilihnya kembali sebagai wakil rakyat pada pemilu berikutnya. Sebaliknya, dikatakan tidak akuntabel apaila mereka gagal memperoleh mandat pada pemilu berikutnya.
Meskipun demikian, mekanisme kelembagaan seperti itu ternyata tidak membawa perubahan. Hal ini terlihat dari realitas bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap anggota DPR priode 2004-2009 kurang baik dibandingkan dengan priode sebelumnya. Masalah akuntabilitas para wakil juga masih menjadi masalah yang cukup serius, bukan hnya terkait dengan para wakil sendiri, melainkan juga terkait dengan realitas bahawa para pemilih tidak sepenuhnya memiliki informasi yang cukup terhadap kinerja wakilnya. Padahal, penguasaan informasi yang cukup merupakan dasar yang sangat penting bagi para pemilih rasional dalam menentukan pilihannya, termasuk apakah akan tetap mempertahankan para wakilnya ataukah memilih alternatif yang lain, baik dari partai sendiri maupun dari partai lain.
Disamping itu, para pemilih juga dominan tidak rasional. Di kalanagan pemilih masih terdapat pemilih-pemilih yang memiliki keterkaitan dogmatis ideologis dan kultural yang kuat.dikalangan  pemilih masih terdapat pandangan yang penting memilih partainya sendiri. Didalam pemilihan yang demikian yang menjadi pertimbangan pokoknya bukan pada program-program yang dibuat atau yang akan ditawarkan, melainkan materi apa yang telah diberikan dan akan diberikan.













BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Demokrasi modern adalah berkaitan dengan perwakilan, karena proses-proses politik tidak bisa dilakukan secara langsung oelh rakyat mengingat jumlah cukupan wilayah dan masalah-masalah teknis lainnya. Tetapi, di negara demokratis manapun, terdapat upaya untuk membagun sistem perwakilan yang memungkinkan para wakil menjalankan fungsi-fungsi keterwakilannya secara baik.
Walaupun perbaikan atas kelembagaan politik telah dilakukan untuk memperbaiki relasi antara wakil terwakili. Tetapi, perubahan kelembagaan ini tidak  bisa memperbaiki relasi tersebut. Konteks kepentingan dan budaya politik, baik wakil maupun pemilih, memiliki pengaruh pada jalannya desain kelembagaan politik. Perubahan di dalam kelembagaan di dalam lembaga perwakilan, dengan demikian, perlu diiringi oleh perubahan budaya politik. terdapat 4 hal ketika memperbincangkan konsep perwakilan diantaranya :

ü Adanya sekelompok orang yang mewakili, yang termanifestasi kedalam bentuk lembaga perwakilan, organisasi, gerakan, dan lembaga-lembaga negara yang lain.
ü Adanya sekelompok orang yang diwakili, seperti konstituen dan klien.
ü Adanya sesuatu yang diwakili,  seperti pendapat, kepentingan, dan perspektif.
ü Konteks politik dimana perwakilan itu berlangsung.











DAFTAR  PUSTAKA

Budiarjo, Miriam. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Gaffar, Affan. 2006. Politik Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
JK. Tualaka. 2009. Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintah dan Ketatanegaraan. Yogyakarta: Redaksi Great Publisher.
Kencana, Inu. 2000. Ilmu Politik. Jakarta :Rineka Cipta.
Marijan, Kacung. 2010.  Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Subiakto, Henry. 2012. Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi. Jakarta: Prenada Media Group.




[1]Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 175.
[2] Affan Gaffar, Politik Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 282.
[3]Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), hlm. 41.
[4]Jk. Tualaka, Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintah dan Ketatanegaraan (Yogyakarta: Redaksi Great Publisher, 2009), hlm. 144.
[5] Inu Kencana Syafi’i, Ilmu Politik (Jakarta :Rineka Cipta,2000), hlm. 167.
[6] Affan Gaffar, Politik Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) hlm 290.
[7] Henry Subiakto, Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), Hlm 156.
[8] Ibid., hlm. 160-161.
[9] Ibid., hlm 161.
[10] Affan Gaffar, op. Cit. hlm 281-282.




Labels: MAKALAH

Thanks for reading MAKALAH SISTEM PERWAKILAN POLITIK DAN PROBLEM AKUNTABILITAS . Please share...!

0 Comment for "MAKALAH SISTEM PERWAKILAN POLITIK DAN PROBLEM AKUNTABILITAS "

Back To Top