PEMBAHASAN
Pengertian
Istihsan
Secara etimologis (lughawi/bahasa) istihsan (
استحسان) berarti “memperhitungkan sesuatu
lebih baik”,atau “adanya sesuatu itu lebih baik”, atau “mengikuti sesuatu yang lebih baik, atau “mencari yang lebih baik untuk diikuti, karena memang disuruh untuk itu”
A.
Definisi Istihsan menurut para ahli
Adapun pengertian istihsan secara
istilah, ada beberapa definisi yang dirumuskan ulama’ ushul fiqh. Diantara
definisi itu ada yang berbeda akibat adanya perbedaan titik pandang. Ada juga
definisi yang disepakati semua pihak, namun diantarany ada yang diperselisihkan
dalam pengamalannya.
1.
Menurut Ibnu Subkhi, istihsan yaitu
“beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat dari
padanya (qiyas pertama)”, “beralih dari penggunaan sebuah dalil kepada adat
kebiasaan karena suatu kemaslahata.
2. Menurut
ulama’ Malikiyah sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Syatibi, “istihasan dalam
madzhab Maliki adalah menggunakan kemaslahatan yang bersifatjuz’i (khusus)
sebagai pengganti dalil yang bersifat kulli (global/umum) .”
3. Menurut ulama’ Hanabilah sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Qudamah, istihsanadalah “ beralihnya mujtahid dalam menetapkan hukum terhadap suatu masalah dari yang sebanding dengan itu karena adanya dalil khusus dalam al-Qur’an atau sunnah”, “apa-apa yang dianggap lebih baik oleh seorang mujtahid berdasarkan pemikiran akalnya”, “dalil yang muncul dalam diri mujtahid yang ia tidak mampu menjelaskannya.”
4. Menurut ulama’ Hanafiyah, istihsan adalah “beramal dengan ijtihad dan umum pendapat dalam menentukan sesuatu yang syara’ menyerahkannya kepada pendapat kita”, “dalil yang menyalahi qiyas yang dzahir yang didahului prasangka sebelum diadakan pendalaman terhadap dalil itu namun setelah diadakan penelitian yang mendalam terhadap dalil itu dalam hukum yang berlaku dan dasar-dasar yang sama dengan itu ternyata bahwa dalil yang menyalahi qiyas itu lebih kuat dan oleSSh karenanya wajib diamalkan.
B. Macam- macam Istihsan
Istihsan dilihat daari segi pemindahan hukumnya dibagi menjadi:
a. Istihsandengan cara pemindahan hukum kulli kepada hukum juz’i.
Contohnya: dalam hukum syara, seseorang tidak boleh melakukan transaksi
jual beli dengan barang yang belum ada ketika dilangsungkan akad jual beli. Aturan
ini berlaku untuksemua jenis transaksi jual beli,karena jual beli tanpa adanya
barang ketika akad berlangsung maka akad tersebut menjadi rusak. Inilah yang
disebut hukum kulli. Kemudian syariat memberikan keringanan dan pengecualian
kepada pembelian barang dengan uang tunai tapi barangnya dikirim kemudian
dengan waktu dan jenis barang yang telah ditentukan(jual beli salam). Jual beli
ini dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan di masyarakat, juga jual beli ini
untuk mempermudah bagi para penjual yang tidak mempunyai modal. Pengecualian
ini dinamakan dengan pemindahan hukum kuli kepada hukum juz’i.
b. Istihsan dengan cara pemindahan dari qiyas jalli kepada qiyas khafi,karena ada dalil yang mengharuskan pemindahan itu.
Contohnya: Menurut madzhab Hanafi, sisa minum burung buas seperti elang
dan gagak adalah suci dan halal diminum. Penghalalan ini ditetapkan berdasarkan
istihsan. Menurut qiyas jalli, meminum sisa minum binatang buas seprti anjing
dan burung buas adalah haram, karena binatang itu langsung minum dengan
lisannya, yang diqiyaskan dengan dagingnya. Menurut istihsan berbeda antara
mulut binatang buas dengan burung buas tadi.kalau binatang buas langsung minum
dengan mulutnya, sedangkan burung buas minum dengan paruhnya yang bukan
merupakan najis. Karena itu mulut burung buas tadi tidak bertemu dengan
dagingnya yang haram dimakan. Dari perbedaan antara binatang buas dan burung
buas tadi,maka ditetapkanlah perpindahan qiyas jalli kepada qiyas khafi
Istihsan diliht dari sandaran dalilnyaterbagi menjadi: istihsân dengan
nash, ijmâ’, dhorurat, qiyâs khafî, ‘urf, dan mashlahah.
1. Istihsan dengan Nash
yaitu hukum pengecualian berdasarkan nas (Al-Qur’an
atau Sunnah) dari kaidah yang bersifat umum yang berlaku bagi kasus-kasus
serupa.
Contoh istihsan dengan Al-Qur’an adalah ucapan seseorang : “ hartaku akan ku shodaqohkan”, berdasarkan qiyas seseorang tersebut harus menshodaqohkan semua hartanya, namun hukum ini dikecualikan; yang di sodaqohkan hanya harta zakatnya saja berdasarkan firman alloh SWT:
خذ من أموالهم صدقة
Contohnya istihsan dengan hadits adalah Puasa tidak batal apabila
makan secara tidak sengaja disebabkan lupa. Menurut kaedah umum (Qiyas), puasa
seseorang batal karena ia tidak menahan diri daripada memasukkan sesuatu ke
dalam rongga badan. Namun hukum itu di kecualikan daripada kaedah umum
berdasarkan hadis Nabi SAW:
من اكل او شرب
ناسيا فلا يفطر فانما هو رزق رزقه الله
Barang siapa yang terlupa sedangkan ia berpuasa lalu
ia makan atau minum, maka hendaklah ia menyempunakan
puasanya. Sesungguhnya Allah memberi makan dan minum kepadanya. ( Riwayat Al-Bukhari dan Muslim dan
At-Tarmizi dan Abu Daud dan Ibnu Majah)
2. Istihsan
berlandaskan Ijma’
Maknanya adalah terjadinya
sebuah ijmâ’ –baik yang sharih maupun sukuti-
terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyâs atau kaidah umum.
Misalnya Transaksi Ishtisna’
(pesanan untuk membuat sesuatu). Menurut kaidah umum (qiyas) praktik seperti
itu tidak dibolehkan, karena pada waktu mengadakan akad pesanan, barang yang
akan dijualbelikan tersebut belum ada. Memperjualbelikan benda yang belum ada
waktu melakukan akad dilarang dalam hadis Rasulullah (HR. Abu Daud). Namun hal
itu dibolehkan sebagai hukum pengecualian, karena tidak seorang pun ulama yang
membantah keberlakuannya dalam masyarakat sehingga di anggap sudah disepakati (ijma’)
Contoh lainnya adalah masalah
penggunaan kamar mandi umum (hammam) tanpa adanya pembatasan waktu dan
kadar air yang digunakan. Secara qiyâs seharusnya hal ini tidak dibenarkan,
karena adanya ketidakjelasan (al-jahalah) dalam waktu dan kadar air.
Padahal para penggunanya tentu tidak sama satu dengan yang lain. Akan tetapi
hal ini dibolehkan atas dasar Istihsân pada ijma yang berjalan
sepanjang zaman dan tempat yang tidak mempersoalkan hal tersebut.
3. Istihsan yang berdasarkan Urf’
Artinya meninggalkan apa yang
menjadi konsekwensi qiyâs menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang
umum berlaku –baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun
perbuatan.
Misalnya, boleh mewakafkan
benda bergerak seperti buku-buku dan perkakas alat memasak. Menurut ketentuan
umum (qiyas) perwakafan, seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, wakaf hanya
dibolehkan pada harta benda yang bersifat kekal dan berupa benda tidak bergerak
seperti tanah. Dasar kebolehan mewakafkan benda bergerak itu hanya adat
kebiasaan di berbagai negeri yang membolehkkan praktik wakaf tersebut.
4. Istihsân dengan dhorurat
Yakni seorang mujtahid melihat
ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyâs,
demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan
Salah satu contohnya adalah
ketika para ulama mengatakan bahwa seorang yang berpuasa tidak dapat dikatakan
telah batal puasanya jika ia menelan sesuatu yang sangat sulit untuk dihindari;
seperti debu dan asap. Maka jika benda-benda semacam ini masuk ke dalam
tenggorokan orang yang berpuasa, puasanya tetap sah dan tidak menjadi batal
karena hal tersebut. Dan ini dilandaskan pada istihsân dengan
kondisi darurat (sulitnya menghindari benda semacam itu), padahal secara qiyâs
seharusnya benda apapun yang masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa,
maka itu membatalkan puasanya.
5. Istihsân dengan
Qiyâs Khafi.
Yakni seorang mujtahid melihat
ada suatu kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyâs jalî untuk
mengunggulkan qiyâs khafî.
Penggunaannya berkebalikan
dengan qiyâs jali, seperti wakaf tanah pertanian, menurut qiyâs jali: wakaf ini
menyerupai akad penjualan perumahan dalam kepemilikan penuh, maka termasuk
didalamnya ini hak untuk tidak dilewati, dibuat jalan, istirahat minum dan
sebagainya. Sedangkan apabila menggunakan qiyâs khafi: maka wakaf ini
menyerupai akad sewa, sehingga termasuk didalamnya masih ada hak untuk
dilewati, dibuat jalan, istirahat minum dan sebagainya
6. Istihsân dengan mashlahah.
Yakni jika ditemukan
kemashlahatan yang berada dalam sebuah permasalahan. Seperti wasiat yang
dilakukan oleh mahjûr (orang yang dicegah atau larang untuk membelanjakan
hartanya). Menurut qiyâs maka wasiat ini tidak diperbolehkan, karena termasuk
mendiamkan hartanya. Tetapi menurut kemashlahatan diperbolehkan adanya wasiat.
Karena wasiat jatuh saat orang yang mewasiatkan meninggal dunia. Hal ini untuk
memberikan kesempatan pada dia untuk mendapatkan pahala wasiat, tetapi
meniadakan kedhoruratan saat hidupnya.
C. Kehujjahan Istihsan
Pada hakekatnya Istihsan
bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karenanya sesungguhnya hokum
istihsan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan Qiyas
tersembunyiyang mengalahkan tehadap Qiyas yang jelas, karena adanya beberapa
faktor yang memenangkannya yang membuat tenaang hati si mujtahid. Itulah
sehi Istihsan. Sedangkan bentuk yang kedua dari Istihsan ialah bahwa dalilnya
adalah mashlahat, yang menuntut pengecualian kasuistis dari hokum kulli (umum),
dan ini disebut segi Istihsan.
mereka yang
menggunakan hujjah berupa Istihsan, mereka ini kebanyakan dari ulama’
Hanafiyyah, maka dalil mereka terhadap kehujjahanya, ialah : bahwasanya
beristidlal dengan istihsan merupakan istidlal dengan dasar qiyas yang nyata,
atau ia merupaka pentarjihan suatu Qiyas atas qiyas yang kontradiksi
ddengannya, dengan adanya dalil yang menuntut pentarjihan ini ,
atau ia merupakan Istidlal dengan kemashlahatan Mursalah (umum) berdasarkan
pengecualian kasuistik dari hokum yang kulli (umum). Semuanya ini merupakan
istidlal yang sohih.
D. Kesamaran Orang Yang tidak Berhujjah dengan
Istihsan
Terdapat sekelompok mujtahid yang mengingkari terhadap istihsan sebagai hujjah, dan mereka menganggapnya sebagai beristmbath terhadap hokum syara’ berdasarkan hawa nafsu dan seenaknya sendiri. Tokoh kelompok ini adalah Imam Syafi’i. Menurut sebuah riwayat,bahwa ia berkata :”barangsiapa yang menetapkan hukum berlandaskan istihsan sama dengan membuat syariat baru dengan hawa nafsu.” Alasannya antara lain :
a) Firman Allah SWT pada Ayat 38 Surat al-an’am :
Dan
Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang
dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami
alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.
Ayat di atas, menurut Imam
Syafi’i menegaskan kesempurnaan Al-Qur’an untuk menjawab segala sesuatu.
b) Firman Allah SWT padaAyat 44 Surat al-Nahl :
Keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan.
Ayat ini menjelaskan bahwa di samping Al-Qur’an ada Sunnah Rasulullah untuk menjelaskan dan merinci hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an sehingga menjadi lebih lengkap untuk menjadi rujukan menetapkan hukum sehingga tidak lagi memerlukanistihsan yang merupakan kesimpulan pribadi.
c) Firman Allah SWT padaAyat 49 Surat al-maidah :
Dan
hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang
telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah
diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan
menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan
Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.
Ayat diatas, menurut Imam Syafi’i, memerintahkan manusia untuk mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya dan larangan mengikuti kesimpulan hawa nafsu. Hukum yang di bentuk melalui istihsan adalah kesimpulan hawa nafsu, oleh karena itu tidak sah dijadikan landasan hukum.
Menurut Wahbah aZ-Zuhaily, adanya perbedaan pendapat tersebut disebabkan perbedaan dalam mengartikan istihsan. Imam Syafi’i membantah istihsan yang didasarkan atas hawa nafsu tanpa berdasarkan dalil syara’. Sedangkan istihsan yang di pakai oleh para penganutnya bukan didasarkan atas hawa nafsu, tetapi men-tarjih(menganggap kuat) salah satu dari dua dalil yang bertentangan karena dipandang lebih dapat menjangkau tujuan pembentukan hukumannya.
Senada dengan pendapatnya
Wahbah Az-Zuhaily yaitu pendapatnya Abdul wahhab Khalaf mengatakan bahwa
apabila di teliti persoalan yang menjadikan perbedaan pendapat dikalangan
ulama’ usul Fiqh dalam menerima atau menolak Istihsan sebagai salah satu dalil
Syara’, maka akan ditemui bahwa perbedaan tersebut hanyalah merupakan perbedaan
istilah. Para ulama’ yang menolak keberadaan istihsan sebagai salah satu dalil
dalam menetapkan hukum, ternyata dalam praktiknya berpendapat sama dengan
ulama’ yang menerima kehujjahan Istihsan
A. Definisi Maslahah Mursalah
Maslahah
mursalah menurut lugat terdiri dari atas dua kata, yaitu maslahah
dan mursalah.
Kata
maslahah berasal dari kata kerja bahasa arab Solaha – Yasluhu menjadi Sulhan
atau Maslahatan yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Sedangkan kata
mursalah berasal dari kata kerja yang berarti diutus, dikirim atau
diipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi “maslahah mursalah”
yang berarti prinsip kemashlahatan (kebaikan) yang dipergunakan
menetapkan suatu hukum islam. Juga dapat berarti, suatu perbuatan yang
mengandung nilai baik (bermanfaat).
Menurut
istilah para ulama ushul fiqih bermacam-macam ta’rrif yang diberikan dii
antaranya:
1. Imam Ar-Razi mena’rifkan sebagai berikut:
“mashlahah
ialah, perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh Musyarri’
(Allah ) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanyaa, jiwanya, akalnya,
keturunannya, dan harta bendanya “. (Lihat: Al-Maahsul oleh Ar-Razi, juz II,
halaman 434 ).
2. Imam Al-Ghazali mena’rifkan sebagai berikut:
“
Mashlahah pada dasarnya ialah meraih mufakat dan menolak madarat ” (
Lihat: Al-Mustafa oleh Imam Ghazali, juz I, halaman 39 ).
3. menurut Muhammad Hasbi As-Siddiqi, maslahah ialah :
“
memelihara tujuan syara’ dengan jaalan menolak segala sesuatu yang merusak
makhluk “. ( Lihat: Hasbi As-Siddiqi, Pengantar Hukum Islam, juz I,
Halaman 236 )
Ketiga
ta’rif di atas memiliki tujuan yang sama yaitu, maslahah memelihara tercapainya
tujuan-tujuan syara’ yaitu, menolak madarat dan meraih maslahah.
Maslahah
Mursalah yaitu yang mutlak, menurut istilah para ahli ushul fiqih ialah : suatu
kemashlahatan dimana Syari’ tidak mensyariatkan suatu hokum untuk merealisir
kemashlahatan itu, dan tidak ada adil yang menunjukkan atas pengakuannya atau
pembatalannya. Maslahat ini tersebut mutlak, karena ia tidak terikat oleh dalil
yang mengakuinya atau dalil yang membatalkannya. Misalnya ialah
kemashlahatan yang karenanya para sahabat mensyariatkan pengadaan penjara.
Pencetakan
mata uang, penetapan tanah pertanian di tangan pemiliknya dan memungut pajak
terhadap tanah itu di daerah yang mereka taklukkan, atau lainnya yang
termasuk kemashlahatan yang di tuntut olehg keadaan-keadaan darurat, berbagai
kebutuhan atau berbagai kebaikan, namun belum disyariatkan
hukumnya, dan tidak ada bukti syara’ yang menunjukkan terhadap
pengakuannya atau pembatalannya.
Kemashlahatan
di mana syar’I mensyariatkan berbagai hukum untuk mewujudkannya dan menunjukkan
pengakuannya dalam berbagai illat terhadap apa yang di syariatkannya, maka
dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqih di sebut sebagai maslahah
mursalah dari syari’nya. Misalnya, pemeliharaan kehidupan manusia.
Syar’I mensyariatkan kewajiban qishash terhadap pelaku pembunuhan dengan
sengaja untuk merelisirnya.
Sifat
yang diakui oleh syar’I ini ada kalanya :
a. Munasib Muatsir
b. Munasib
Mulaim
Adapun berbagai kemashlahatan yang dikehendaki oleh lingkungan dan kenyataan-kenyataan baru yang datang setelah Wahyu terputus, sedangkan syar’I belum mensyariatkan hukum untuk merealisir kemashlahatan tersebut, dan tidak ada dalil syar’I yang mengakuinya atau membatalkannya, maaka inilah yang disebut dengan Munasib Mursal. Dengan kata lain, ia tersebut mahlahah mursalah.
Misalnya
adalah kemashlahatan yang menuntut bahwasannya perkawinan yang tidak
mendapat akte resmi, maka pengakuan terhadap perkawinan itu tidak didengar
ketika terjadi pengingkaran dan seperti kemashlahatan yang menghendaki
bahwasannya akad jual-beli yang tidak dicatat tidak dapat memindaahkan hak
milik. Kesemmuanya ini merupakan berbagai kemashlahatan yang tidak
disyariatkan hukumnya syari’, dann tidak ada dalil darinya yang men
unjukkan pengakuannya atau pembtalannya. Inilah Maslahah Mursalah
B. Dalil Ulama Yang Menjadikan Hujjah Maslahah
Mursalah
Kehujjahan maslahah mursalah didukung dalil-dalil aqliah (alasan rasional) sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab Kholaf dalam kitabnya ilmu Ushulil Fiqh bahwa kemaslahatan manusia itu selalu aktual yang tidak ada habisnya, karenanya kalau tidak ada syariah hukum yang berdasarkan mashlahat manusia berkenaan dengan mashlahah baru yang terus berkembang dan pembentukan hukum hanya berdasarkan prinsip mashlahan yang mendapat pengakuan Syar’i saja, maka pembentukan hukum akan behenti dan kemaslahatan yang dibutuhkan mausia bisa disetiap masa dan tempat akan terabaikan.
Para
ulama yang menjadikan mursalah sebagai salah satu dalil syara, menyatakan bahwa
dalil hukum mashlahah mursalah ialah :
a. Persoalan
yang dihadapi manusia selalu bertumbuh dan berkembang demikian pula kepentingan
dan keperluan hidupnya.
b. Sebenarnya
para sahabat para tabi’in, tabi’id, tab’iin, dan para ulama yang datang
sesudahnya telah melaksanakanya, sehingga mereka dapat segera menetapkan hukum
sesuai dengan kaum muslimin pada masa itu.
C. Syarat-Syarat Berhujjah Dengan Maslahah
Mursalah
Barangsiapa
yang mengemukakan hujjah dengan maslahah mursalah, mereka itu harus
berhati-hati, sehingga bagi tasyri’ bukanlah merupakan pintu untuk
memperturutkan bahwa hawa nafsu dan keinginan. Untuk ini syarat-syarat, yang
di bina oleh tasyri itu ada tiga macam syarat.
Pertama,
adalah mashlahah hakikat, yang di maksud dengan mahlahah hakikat adalah
menetapkan orang yang mentasyi’kkan hidup pada suatu peristiwa, mendatangkan
manfaaat dan membuang mudharat. Untuk itu harus dibina atas
kemaslahatan wahamiah. Misalnya kemaslahatan yang masih diimpikan dalam
hal mencabut hak suami untuk menceraikan isteri. Hak menceraikan ini
diserahkan saja kepada hakim.
Kedua, ada kemashlahatan umum, yang di maksud denngan kemashlahatan umum adalah
meyakinkan bahwa tasyri’ hukum terhadap suatu peristiwa mendatangkan manfaaat
untuk orang banyak. Atau membuang kemudharatan. Bukan untuk kemashlahatan
pribadi, atau orang yang sedikit jumlahnya. Di sini tidak boleh
mensyariatkan hukum hanya untuk kemaslahatan khusus oleh Amir atai pembesar. Me
nyenyampingkan pendapat orang-orang yang kenamaan dan kemashlahatan
mereka itu.
Ketiga, Tasyri itu tidak boleh bertentangan bagi kemashlahatan hukum ini,
atau prinsip-prinsip yang ditetapkan dengan nash atau ijmak. Tidak
sah kemaslahatan itu diperlukan untuk menyatakan hak anak laki-laki dan anak
perempuan dalam masalah warisa. Kemaslahatan ini batal karena bertentangan
dengan nash Al-Qur’an.Dalam hal ini berfatwa Yahya Ibnu Yahya Al Laitsi Al
Maliki, seorang ahli fiqih di Andalus. Dia murid darri I mam Malik
bin Anas Khati’ah, ada seorang raja Andalus memperbukakan puasanya dengan
sengaja pada bulan Ramadhan. Menurut fatwa imam Yahya, tidak usah membayaer
kifarat, selain dari berpuasa dua bulan berturut-turut, Fatwanya ini dibina
atas kemaslahatan yang berlaku. Jika yang di maksud dengan kifarat ialah
menghardik orang yang berdosa dan menegurnya, sehingga orang itu tidak
kembali memperbuat dosa seperti itu. Raja itu tidak memperbuat
selain ini.
D. Kesamaran Yang Paling Jelas dari Orang Yang Menolak
Kehujjahannya
Sebagai dari ulama kaum muslimin berpendapat bahwasannya mashlahah mursalah yang tidak ada bukti syar’I yang membuktikan terhadap pengakuan terhadapnya maupun pembatalannya, yang bisa dijadikan sebagai dasar pembentukan hukum.
Adapun
dalil mereka ada dua hal, yaitu:
a. Bahwasannya syariat telah memelihara segala kemashlahatan manusia dengan nash-nashnya dan dengan petunjuk berupa qiyas. Syar’I tidaklah membiarkan ummat manusia dengan sia-sia, dan tidak pula membiarkan kemashlahatan apa-apa tanpa ada petunjuk kepada pentas syar’inya. Tidak ada suatu kemashlahatan melainkan ia mempunyai bukti dari syar’I yang mengakuinya, sedangkan kemashlahatan yang tidak ada bukti dari syari’ yang mengakuinya, maka pada hakikatnya ia bukanlah kemashlahatan. Ia tidak lain merupakan mashlahah wahmiyyah ( kemashlahatan yang bersifat dugaan saja ) dan tidak boleh mendasarkan hukum atas kemashlatan tersebut
b. Bahwasannya pembentukan hukum dasar mutlak ke mashlahatan berarti membuka pintu untuk hawa nafsu orang menurutnya, baik dari kalangan penguasa, amir, dan para mufti. Sebagian dari nmereka kadangkala terkalahkan oleh hawa nafsu dan keinginannya, sehingga mereka membayangkan baerbagai mafsadah ( kerusakan ) sebagai kemashlahatan. Sedangkan kemashlahatan merupakan hal yang bersifat perkiraan yang dapat berbeda-beda akibat perbedaan berbagai pendapat dan lingkungan.
Oleh karena itu, pembukaan pintu pembentukan hukum berdasarkan mutlaknya kemashlahatan membuka pintu kejahatan. Barangsiapa yang mengkhawatirkan permainan dan kezaliman serta pengikutan hawa nafsu dengan mengatas namakan kemashlahatan umum, maka kekhawatirannya itu dapat ditolak, bahwa kemashlahatan umum tidaklah dijadikan dasar pembentukan hukum kecuali apabila kemashlahatan itu memenuhi tiga criteria yang telahkami jelaskan. Yaitu bahwa ia haruslah merupakan kemashlahatan umum yang hakiki yang tidak bertentangan dengan nash syar’I maupun prinsip
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan antara
lain:
1. Istihsan adalah
pengambilan hukum denga cara perpindahan hukum dari qiyas jali kepada qiyas
khafi,atau dari hukum kulli pindah kepada hukum juz’i
2. Dalam
pengambilan hukum secara istihsan tidak boleh menggunakan hawa nafsu melainkan
dengan dalil atau sandaran yang kuat.
3. Terdapat
perbedaan pendapat antar ulama, mengenai istihsan.akan tetapi
perbedaan itu pada penggunaan istilah saja.pada dasarnya mereka berpandangan
sama, yaitu dalam suatu pengambilan hukum harus berdasarkan dalil atau sandaran
yang kuat.
Mashlahahah
mursalah adalah suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat) dan
memelihara tercapainya tujuan-tujuan syara’ yaitu menolak mudarat dan meraih
mashlahah.
Labels:
MAKALAH
Thanks for reading MAKALAH USHUL FIQH ISTIHSAN . Please share...!
0 Comment for "MAKALAH USHUL FIQH ISTIHSAN "