PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Konstitusi adalah hukum tertinggi suatu Negara. Sebab tanpa konstitusi negara
tidak mungkin terbentuk. Dengan demikian konstitusi menempati posisi yang
sangat vital dalam kehidupan ketatanegaraan suatu Negara. Dengan kata lain,
konstitusi membuat suatu peraturan pokok mengenai sendi-sendi pertama untuk
menegakkan Negara.
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai suatu bentuk konstitusi tertulis adalah induk dari segala perundang-undangan dalam Negara Republik Indonesia yang memberikan landasan hukum untuk pembuatan segala peraturan dan berlakunya peraturan-peraturan itu.
Menurut Karl Loewenstein dalam
bukunya “Reflection on the Value of Constitutions” membedakan 3 macam
nilai Konstitusi atau the values of the constitution, yaitu:
1.
Normative
value (Nilai Normatif);
2.
Nominal
value (Nilai Nominal);
3.
Semantical
value (Nilai Semantik).
Untuk itu, kami akan menelaah lebih
lanjut, bahwa UUD 1945 itu menganut nilai apa dan bagaimana
pengimplementasiannya dalam kehidupan bernegara. Hal ini dianggap perlu karena
pelaksanaan UUD 1945 harus efektif dalam pelaksanaan nilai-nilai yang
dianutnya.
A.
Rumusan
Masalah:
1.
Pembagian
Nilai – Nilai Konstitusi;
2.
Nilai
Konstitusi Indonesia Berdasarkan UUD 1945
B.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui Nilai-nilai Konstitusi yang Dianut oleh UUD
1945
2. Untuk
mengetahui Nilai yang dianut oleh UUD 1945 dan praktiknya dalam kehidupan
bernegara.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Konstitusi
Istilah Konstitusi berasal
dari bahasa Prancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah
konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu Negara atau menyusun dan
menyatakan suatu Negara.
Dalam bahasa Latin, kata
konstitusi merupakan gabungan dari dua kata, yaitu cume,dan statuere. Cume
adalah sebuah preposisi yang berarti “ bersama dengan…”,sedangkan statuere
berasal dari kata sta yang membentuk kata kerja pokok stare yang berarti berdiri.atau mendirikan
/menetapkan sesuatu secara bersama-sama dan bentuk tunggal (constitution)
berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama
dan bentuk jamak (constitusiones) berarti segala sesuatu yang telah
ditetapkan.
Menurut C.F. Strong konstitusi memiliki bentuk
tertulis dan tidak tertulis. Konstitusi tertulis adalah aturan – aturan pokok
dasar negara , bangunan negara dan tata negara, demikian juga aturan dasar
lainnya yang mengatur perikehidupan suatu bangsa di dalam persekutuan hukum
negara. Konstitusi tidak tertulis/konvensi adalah berupa kebiasaan
ketatanegaraan yang sering timbul. Adapun syarat – syarat konvensi adalah:
Diakui dan dipergunakan berulang – ulang dalam praktik penyelenggaraan negara,
tidak bertentangan dengan UUD 1945, memperhatikan pelaksanaan UUD 1945.[1]
B.
Kedudukan
,Fungsi dan Tujuan Konstitusi
Kedudukan,fungsi, dan tujuan
konstitusi dalam Negara berubah dari zaman ke zaman. Pada masa peralihan dari
Negara feudal monarki atau oligarki, dengan kekuasaan mutlak penguasa kenegara
nasional demokrasi, konstitusi berkedudukan sebagai benteng pemisah antara
rakyat dan penguasa yang kemudian secara bengangsur-angsur mempunyai fungsi
sebagai alat rakyat dalam perjuangan kekuasaan melawan golongan penguasa. Sejak
itu setelah perjuangan dimenangkan oleh rakyat, konstitusi bergeser kedudukan
dan perannya dari sekadar penjaga keamanan dan kepentingan hidup rakyat
terhadap kezaliman golongan penguasa, menjadi senjata pamungkas rakyat untuk
mengakhiri kekuasaan sepihak atau golongan dalam system monarki dan oligarki,
serta untuk membangun tata kehidupan baru atas dasar landasan kepentingan
bersama rakyat dengan menggunakan berbagai ideology seperti: individualism,
liberalisme, universalisme demokrasi dan sebagainya. Selanjutnya, kedudukan dan
fungsi konstitusi ditentukan oleh ideology yang melandasi Negara.
Dalam sejarahnya dunia barat,
konstitusi dimaksudkan untuk menentukan wewenang penguasa, menjamin hak rakyat
dan mengatur jalannya pemerintahan. Berhubung dengan itu konstitusi dijaman
modern tidak hanya memuat aturan-aturan hokum, tetapi juga merumuskan atau
menyimpulkan prinsip-prinsip hokum haluan Negara, dan patokan kebijaksanaan
yang semuanya mengikat penguasa. Sementara itu Inggris tidak mempunyai
undang-undang dasar, tetapi mempunyai konstitusi yang lengkap memuat
aturan-aturan keorganisasian Negara berdasarkan perkembangan selama kurang
lebih delapan abad. Aturan-aturan konstitusional itu tersebar dalam berbagai
undang-undang dan dokumen Negara lainnya, hokum adat (cammon law), dan konvensi
(konvension). Walaupun Inggris tidak mempunyai undang-undang dasar, Negara ini
merupakan Negara konstitusional tertua yang tumbuh secara evolusi sejak
diterbitkannya Magna Charta tahun 1215 yang mewajibkan Raja menegakkan hukum
sebagai hasil perlawanan bersenjata dan tuntunan dari para bangsawan karena
itu, Negara inggris menjadi contoh bagi Montesquieu ketikan ia mengajarkan
teori pemisahan tiga kekuasaan pemerintahan (triyas politica) yang kemudian
dirumuskan dalam undang-undang dasar Amerikan Serikat 1787. Alinea didalam
Negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, Undang
–Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintah
sedemikian rupa, sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat
sewenang-wenang. Dengan demikian, diharapkan hak-hak warga Negara akan lebih terlindungi.[2]
Kedudukan konstitusi itu merupakan
wujud dan manisfestasi Hukum Tertinggi yang harus ditaati oleh pengasa dan
rakyatnya. Di bawah ini akan dijelaskan mengenai kedudukan konstitusi dilihat
dari derajat konstitusi tertinggi dan bukan tertinggi:
a.
Derajat Konstitusi Tertinggi
Derajat konstitusi tertinggi adalah
suatu konstitusi yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam negara. Dalam setiap
negara terdapat tata aturan perundang-undangan dengan rangkaian tingkat yang
berbeda mengenai kedudukan hukumnya, mulai dari peraturan perundangan yang
tertinggi sampai dengan peraturan yang terendah tingkatannya. Derajat
konstitusi tertinggi dapat dilihat dari tiga segi yaitu: (1) Dari segi
bentuknya. Konstitusi ini berada diatas peraturan perundang-undang yang lain
dan juga syarat untuk mengubahnya lebih berat dibandingkan dengan yang lain;
(2) Dari segi isinya. Konstitusi memuat hal-hal yang pokok, memuat garis-garis
besar tentang dasar dan tujuan negara, menjadi sumber dari peraturan perundang-undang
yang lain (3) dari segi perubahannya. Persyaratan untuk merubahnya cukup ketat.
b.
Derajat konstitusi bukan tertinggi
Derajat konstitusi bukan tertinggi
adalah suatu konstitusi yang tidak mempunyai kedudukan serta derajat seperti
konstitusi derajat tertinggi. Persyaratan yang diperlukan untuk mengubah
konstitusi jenis ini sama dengan persyaratan yang dipakai untuk mengubah
peraturan-peraturan yang lain, seperti undang-undang. Derajat konstitusi bukan
tertinggi dapat dilihat dari tiga segi yaitu: (1) dari segi bentuknya.
Konstitusi kedudukannya setara dengan peraturan perundang-undang yang
lain; (2) dari segi isinya. Konstitusi
tidak menjadi sumber dari peraturan perundang-undang yang lain; (3) dari segi perubahannya. Persyaratan
perubahannya sama dengan persyaratan perundang-undang biasa. Derajat konstitusi
bukan tertinggi jelas derajatnya akan berada di bawah undang-undang dasar, dan
bentuk peraturan perundang-undang yang derajatnya di bawah UUD.[3]
3. Kedudukan konstitusi dari perspektif moral
Kedudukan konstitusi dari perspektif
moral, konstitusi berada di bawah nilai-nilai moral. Otoritas konstitusi kalau
dipandang dari segi moral sama halnya dengan pandangan aliran hukum alam, yaitu
mempunyai daya ikat terhadap warga negara, karena penetapan konstitusi juga
didasarkan pada nilai-nilai moral. Konstitusi sebagai landasan fundamental
tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai universal dari etika moral, tingkah
laku manusia dalam kehidupan sehari-hari selalu akan berada di dalam suatu
jaringan norma-norma. Tanpa adanya suatu norma tingkah dan perilaku manusia,
nilai-nilai moral tidak akan menjadikan suatu tatanan yang baik dan harus
dilakukan dari masing-masing individu, karena pelaksanaan moral tidak bisa
dipaksakan. Jadi norma-norma (kaidah) atau tingkah laku individu harus ditaati
dengan sebaik mungkin, agar dalam konstitusi perspektif moral dapat menjadikan
suatu nilai-nilai universal dari etika moral yang baik.
Moral adalah peraturan perbuatan
manusia sebagai manusia ditinjau dari segi baik buruknya dipandang dari
hubungannya dengan tujuan akhir hidup manusia berdasarkan hukum kodrati. Esensi
tujuan moral adalah mengatur hidup manusia sebagai manusia, tanpa pandang bulu,
tanpa pandang suku, agama, dan tidak mengenal daya berlakunya, moral tidak
terikat pada waktu tertentu dan juag tidak tergantung pada tempat tertentu.
Ketentuan-ketentuan tingkah laku
manusia beraneka macam corak tergantung dari berat ringannya reaksi yang
diberikan manusia dalam menilai tingkah laku dengan adanya ketentuan yang
mengenai tentang sopan santun, kesusilaan yang menyangkut moral dan hukum.
Adapun teori moral yang digunakan untuk menjelaskan ketaatan terhadap hukum,
berlaku pula bagi konstitusi. Jadi secara constitutional phyloshofi,
apabila aturan konstitusi bertentangan dengan etika moral, maka seharusnya
konstitusi dikesampingkan.
4.
Kedudukan konstitusi Indonesia
Dalam kedudukan konstitusi
Indonesia, konstitusi berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat dan
penguasa dan menentukan batas wewenang penguasa, menjamin hak rakyat dan
mengatur jalannya pemerintahan.
a. Kedudukan konstitusi pada saat Konstitusi RIS
Rancangan konstitusi RIS hasil
panitia urusan ketatanegaraan dan Hukum Tata Negara, pada tanggal 29 Oktober
1949, yang telah disetujui dan ditandatangani bersama, sebagai konstitusi RIS
yang terdiri dari 197 pasal. Konstitusi ini kemudian mendapat persetujuan dari
KNIP pada tanggal 14 Desember 1949 sebagai Badan Perwakilan Rakyat RI.
Sehubungan dengan kedudukan konstitusi RIS adalah Undang-Undang Dasar yang
diberi nama secara resmi dengan istilah “Konstitusi Republik Indonesia Serikat”
dalam lembaran negara tahun 1950 No.3. Dalam kedudukannya konstitusi RIS
merupakan konstitusi derajat tinggi karena persyaratan untuk mengubah lebih
berat jika dibandingkan merubah peraturan perundangan yang lain. Adanya sistem
pertanggungjawaban menteri, maka kedudukan presiden menurut konstitusiris,
sebagai kepala negara (pasal 69), ia tidak bertanggung jawab atas
penyelenggaraan pemerintahan, oleh karena itu presiden tidak dapat diganggu
gugat (pasal 118 ayat 1).[4]
b.
Kedudukan konstitusi pada saat UUDS 1950
Undang-Undang Dasar sementara 1950
secara formal merupakan perubahan konstitusi RIS, meskipun sebenarnya secara
material merupakan pergantian. Rencana Undang-Undang Dasar Sementara, pada
tanggal 20 Juli 1950 dikeluarkan “pernyataan bersama pemerintah RIS dan
pemerintah RI” yang masing-masing ditandatangani oleh Drs. Moh. Hatta (perdana
menteri RIS) dan A. Halim
(perdana menteri RI) yang isinya mengenai persetujuan rencana UUDS negara
kesatuan RI. Kedudukan UUDS 1950 merupakan konstitusi derajat tinggi karena
persyaratan merubahnya tidak semudah peraturan perundangan biasa dan kedudukan
UUDS 1950 merupakan peraturan tertinggi dalam perundang-undangan di atas UU dan
UU Darurat.
c.
Kedudukan konstitusi pada saat UUD 1945
Kedudukan UUD 1945 merupakan
konstitusi derajat tinggi karena UUD 1945 berkedudukan sebagai hukum dasar dan
pedoman pembentukan peraturan perundangan yang lain. Sehingga terdapat hierarki
pembentukan peraturan perundangan yang lain. Sehingga terdapat hierarki
perundangan sebagai konsekuensinya, diatur dalam UU No.10 tahun 2004 tentang
pembentukan peraturan perundangan. Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan sebagai
salah satu perwujudan sumber tertib hukum Indonesia dan dalam tata urutan
perundangan republik Indonesia ditetapkan sebagai bentuk peraturan perundangan
yang tertinggi, yang menjadi dasar dan sumber bagi semua peraturan perundangan
bawahan dalam negara.
C.
NILAI
KONSTITUSI YANG DIANUT OLEH UUD 1945
1.
Pembagian
Nilai – Nilai Konstitusi
Karl Loewenstein dalam bukunya “Reflection
on the Value of Constitutions” membedakan 3 (Tiga) macam Nilai Konstitusi
atau the values of the constitution, dengan didasarkan pada
realitas kekuasaan dan norma konstitusi, yaitu:
1.
Normative
value (Nilai
normatif);
2.
Nominal
value (Nilai
nominal);
3.
Semantical
value (Nilai
semantik).
Jika berbicara nilai konstitusi,
para sarjana hukum pun selalu mengutip pendapat Karl Loewenstein mengenai tiga
nilai konstitusi tersebut, yaitu : normatif, nominal, dan semantik. Suatu
konstitusi dikatakan memiliki Nilai Normatif apabila
konstitusi tersebut resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi
itu tidak hanya berlaku dalam arti hukum (legal), tetapi juga nyata berlaku
dalam masyarakat dalam arti berlaku efektif dan dilaksanakan secara murni dan
konsekuen. Norma-norma konstitusi itulah yang mengatur dan mejadi guideline
pada proses-proses politik yang terjadi di masyarakat.
Konstitusi dikatakan memiliki Nilai
Nominal apabila konstitusi tersebut secara hukum jelas berlaku, dan
memiliki daya berlaku, namun dalam prakteknya tidak memiliki kenyataan
eksistensi. Pasal-pasal yang ada dalam konstitusi tersebut hanya menjadi
dokumen hukum semata, dan ketundukan politiknya tidak berdasarkan pada
nilai-nilai yang ada dalam konstitusi itu sendiri.
Dalam Praktiknya dapat pula terjadi
percampuran antara nilai nominal dan normatif. Hanya sebagian saja dari
ketentuan undang-undang dasar yang dilaksanakan, sedangkan sebagian lainnya
tidak dilaksanakan dalam praktik, sehingga dapat dikatakan bahwa yang berlaku
normatif hanya sebagian, sedangkan sebagaian lainnya hanya bernilai nominal
Suatu konstitusi disebut konstitusi
yang memiliki Nilai Semantik jika norma-norma yang
terkandung didalamnya secara hukum tetap berlaku, namun dalam kenyataannya
adalah sekedar untuk memberikan bentuk untuk melaksanakan kekuasaan politik
semata. Sehingga banyak kalangan yang menilai konstitusi hanya sebagai “jargon”
atau semboyan pembenaran sebagai alat pelanggengan kekuasaan saja. Pada intinya
keberlakuan dan penerapan konstitusinya hanya untuk kepentingan bagaimana
mempertahankan kekuasaaan yang ada.
Menurut
Karl Lowenstein setiap konstitusi selalu terdapat dua aspek penting, yaitu
sifat idealnya sebagai teori (das sollen) dan sifat nyatanya sebagai
praktik (das sein). Suatu konstitusi yang mengikat itu bila dipahami,
diakui, diterima, dan dipatuhi oleh masyarakat bukan hanya berlaku dalam arti
hukum, akan tetapi juga merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam arti
sepenuhnya diperlukan dan efektif.
2. Nilai Konstitusi Indonesia Berdasarkan UUD 1945
Berbicara konstitusi Indonesia tidak
terlepas dari konstitusi tertulisnya yakni, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. UUD
1945 sebelum amandemen memiliki kecenderungan bersifat konstitusi yang bernilai
semantik. Contohnya UUD 1945 pada zaman Orde baru dan Orde lama pada waktu itu
berlaku secara hukum, tetapi dalam praktiknya keberlakuan itu semata-mata hanya
untuk kepentingan penguasa saja dengan dalih untuk melaksanakan Undang-Undang
dasar 1945. Kenyataan itu dapat kita lihat dalam masa Orde Lama ikut campur
penguasa dalam hal ini esekutif (Presiden) dalam bidang peradilan, yang
sebenarnya dalam pasal 24 dan 25 Undang-Undang dasar 1945 harus bebas dan tidak
memihak, hal tersebut dapat terlihat dengan adanya Undang-undang No. 19 tahun
1965.
Pada masa Orde Baru konstitusi pun
menjadi arena pelanggengan kekuasaan hal tersebut terlihat dengan rigidnya
sifat konstitusi yang “sengaja” dibuat dengan membuat peraturan atau prosedur
perubahan demikian sulit, padahal Undang-Undang Dasar pada saat itu dibentuk
dengan tujuan sebagai Undang-Undang Dasar sementara, mengingat kondisi negara
yang pada waktu itu telah memproklamirkan kemerdekaan maka diperlukanlah suatu
Undang-Undang dasar sebagai dasar hukum tertinggi. Namun dikarenakan konstitusi
tersebut masih dimungkinkan untuk melanggengakan kekuasaan, maka konstitusi
tersebut dipertahankan. Maka timbulah adigium negatif “Konstitusi akan
dipertahankan sepanjang dapat melanggengkan kekuasaan”.
Kemudian, Pasca perubahan
Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke-4, memberikan nilai lain pada konstitusi
kita. Dalam pasal - pasal konstitusi kita memiliki nilai nominal. Misal pada
pasal 28B ayat (2) tentang HAM, yang berbunyi “Setiap orang berhak atas
kekeluargaan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Walaupun dalam ayat tersebut terdapat hak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi namun kenyataannya masih banyak
diskriminasi-diskriminasi penduduk pribumi keturunan. Kemudian pasal 29 ayat
(2), yang berbunyi “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”. Perkataan Negara menjamin kemerdekaan menjadi sia-sia
kalau agama yang diakui di Indonesia hanya 5 dan 1 kepercayaan. Hal tersebut
menjadi dilematis dan tidak konsekuen, bila memang kenyataan demikian, mengapa
tidak dituliskan secara eksplisit dalam ayat tersebut. Hal lain adalah dalam
pasal 31 ayat (2), yang berbunyi “ Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya” . Kata-kata wajib
membiayainya seharusnya pemerintah membiayai seluruh pendidikan dasar tanpa
terdikotomi dengan apakah sekolah tersebut swasta atau negeri, karena kata
wajib disana tidak merujuk pada sekolah dasar negeri saja, seperti yang
dilaksanakan pemerintah tahun ini, tetapi seluruh sekolah dasar. Pasal
selanjutnya adalah pasal 33 ayat (3), yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kata dipergunakan dalam ayat tersebut
tampaknya masih jauh dari kenyataan, betapa tidak banyak eskploitasi sumber
daya alam bangsa ini yang dikuras habis oleh perusahaan asing yang sebagian
besar keuntungannya di bawa pulang ke negara asal mereka. Kondisi demikian
masih jauh dari tujuan pasal tersebut yakni kemakmuran rakyat bukan kemakmuran
investor. Selanjutnya pasal 34 ayat (1), yang berbunyi “ fakir miskin dan
anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Kata dipelihara disini bukan
berarti fakir miskin dan anak-anak terlantar dibiarkan “berpesta ngemis” atau
bergelandang tanpa dicari solusi dan menjamin jaminan sosial dimana sesuai
dengan tujuan awal, yakni kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Dari penjelasan tersebut, tampaknya
UUD 1945 mempunyai nilai nominal. Sebab walaupun secara hukum konstitusi ini
berlaku dan mengikat peraturan dibawahnya, akan tetapi dalam kenyataan tidak
semua pasal dalam konstitusi berlaku secara menyeluruh, yang hidup dalam arti
sepenuhnya diperlukan dan efektif dan dijalankan secara murni dan konsekuen.[5]
3. Penerapan Nilai-Nilai Konstitusi dalam UUD 1945
UUD 1945 telah mengalami empat kali
perubahan, yaitu Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan Kedua Tahun 2000,
Perubahan Ketiga Tahun 2001, dan Perubahan Keempat Tahun 2002. Dalam empat kali
perubahan itu, materi UUD 1945 yang asli telah mengalami perubahan
besar-besaran dan dengan perubahan materi yang dapat dikatakan sangat mendasar.
Secara substantif, perubahan yang telah terjadi atas UUD 1945 telah menjadikan
konstitusi proklamasi itu menjadi konstitusi yang baru sama sekali, meskipun
tetap dinamakan sebagai UUD 1945.
Dalam Pasal II Aturan Tambahan
Perubahan Keempat UUD 1945 ditegaskan, “Dengan ditetapkannya perubahan
Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”. Dengan demikian, jelaslah bahwa sejak
tanggal 10 Agustus 2002, status Penjelasan UUD 1945 yang selama ini dijadikan
lampiran tidak terpisahkan dari naskah UUD 1945, tidak lagi diakui sebagai
bagian dari naskah UUD. Jika pun isi Penjelasan itu dibandingkan dengan isi UUD
1945 setelah empat kali berubah, maka jelas satu sama lain sudah tidak lagi
bersesuaian, karena pokok pikiran yang terkandung di dalam keempat naskah
perubahan itu sama sekali berbeda dari apa yang tercantum dalam penjelasan UUD
1945 tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Suatu konstitusi
dikatakan memiliki Nilai Normatif apabila konstitusi tersebut
resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi itu tidak hanya
berlaku dalam arti hukum (legal), tetapi juga nyata berlaku dalam masyarakat
dalam arti berlaku efektif dan dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
Norma-norma konstitusi itulah yang mengatur dan mejadi guideline pada
proses-proses politik yang terjadi di masyarakat.
2. Konstitusi dikatakan
memiliki Nilai Nominal apabila konstitusi tersebut secara
hukum jelas berlaku, dan memiliki daya berlaku, namun dalam prakteknya tidak
memiliki kenyataan eksistensi. Pasal-pasal yang ada dalam konstitusi tersebut
hanya menjadi dokumen hukum semata, dan ketundukan politiknya tidak berdasarkan
pada nilai-nilai yang ada dalam konstitusi itu sendiri.
3. Suatu konstitusi
disebut konstitusi yang memiliki Nilai Semantik jika
norma-norma yang terkandung didalamnya secara hukum tetap berlaku, namun dalam
kenyataannya adalah sekedar untuk memberikan bentuk untuk melaksanakan
kekuasaan politik semata. Sehingga banyak kalangan yang menilai konstitusi
hanya sebagai “jargon” atau semboyan pembenaran sebagai alat pelanggengan
kekuasaan saja. Pada intinya keberlakuan dan penerapan konstitusinya hanya
untuk kepentingan bagaimana mempertahankan kekuasaaan yang ada.
4. Pada masa Orde Baru
konstitusi pun menjadi arena pelanggengan kekuasaan hal tersebut terlihat
dengan rigidnya sifat konstitusi yang “sengaja” dibuat dengan membuat peraturan
atau prosedur perubahan demikian sulit, karena pada saat itu, nilai konstitusi
yang berlaku adalah nilai semantik
5. UUD 1945 mempunyai
nilai nominal. Sebab walaupun secara hukum konstitusi ini berlaku dan mengikat
peraturan dibawahnya, akan tetapi dalam kenyataan tidak semua pasal dalam konstitusi
berlaku secara menyeluruh, yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan
efektif dan dijalankan secara murni dan konsekuen.
DAFTAR
PUSTAKA
Mahfud, Moh.
2003.Demokrasi dan Konstitusi di
Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.
Syahrizal,
Ahmad. 2006. Peradilan Konstitusi.Jakarta
: Pradnya Paramita.
Syahuri,
Taufiqurrohman 2011. Tafsir Konstitusi
Berbagai Aspek Hukum.Jakarta : Kencana Media Group.
Thaib,
Dahlan. 2012. Teoeri dan Hukum
Konstitusi. Jakarta :Raja Feafindo Persada.
[1] Dahlan Thaib, Teori dan Hukum Konstitusi (
Jakarta :PT Raja Grafindo, 2012), hlm5
[2] Dahlan Thaib, Teori dan Hukum
Konstitusi…, op. cit., hlm 17
[3] Ahmad Syahrizal, Peradilan
Konstitusi ( Jakarta : PT Pradnya Paramita, 2006) , hlm 58
[4] Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir
Konstitusi Berbagai Aspek Hukum (Jakarta PT Rineka Cipta, 2003), hal10
Labels:
MAKALAH
Thanks for reading Makalah Pengertian, Kedudukan, Fungsi dan Tujuan Konstitusi. Please share...!
0 Comment for "Makalah Pengertian, Kedudukan, Fungsi dan Tujuan Konstitusi"