Makalah Pengertian, Kedudukan, Fungsi dan Tujuan Konstitusi


https://seputarrkuliah.blogspot.com/2018/04/Pengertian-kedudukan-fungsi-tujuan-konstitusi.html

BAB I
PENDAHULUAN
A.                     LATAR BELAKANG
          Konstitusi adalah hukum tertinggi suatu Negara. Sebab tanpa konstitusi negara tidak mungkin terbentuk. Dengan demikian konstitusi menempati posisi yang sangat vital dalam kehidupan ketatanegaraan suatu Negara. Dengan kata lain, konstitusi membuat suatu peraturan pokok mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan Negara.

Undang-Undang Dasar 1945 sebagai suatu bentuk konstitusi tertulis adalah induk dari segala perundang-undangan dalam Negara Republik Indonesia yang memberikan landasan hukum untuk pembuatan segala peraturan dan berlakunya peraturan-peraturan itu.
Menurut Karl Loewenstein dalam bukunya “Reflection on the Value of Constitutions” membedakan 3 macam nilai Konstitusi atau the values of the constitution, yaitu:
1.                       Normative value (Nilai Normatif);
2.                       Nominal value (Nilai Nominal);
3.                       Semantical value (Nilai Semantik).
Untuk itu, kami akan menelaah lebih lanjut, bahwa UUD 1945 itu menganut nilai apa dan bagaimana pengimplementasiannya dalam kehidupan bernegara. Hal ini dianggap perlu karena pelaksanaan UUD 1945 harus efektif dalam pelaksanaan nilai-nilai yang dianutnya.
A.                     Rumusan Masalah:
1.                       Pembagian Nilai – Nilai Konstitusi;
2.                       Nilai Konstitusi Indonesia Berdasarkan UUD 1945
B.                      Tujuan Penulisan
1.                       Untuk mengetahui Nilai-nilai Konstitusi yang Dianut oleh UUD 1945
2.                    Untuk mengetahui Nilai yang dianut oleh UUD 1945 dan praktiknya dalam kehidupan bernegara.



BAB II
PEMBAHASAN
A.                     Pengertian Konstitusi
Istilah Konstitusi berasal dari bahasa Prancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu Negara atau menyusun dan menyatakan suatu Negara.
Dalam bahasa Latin, kata konstitusi merupakan gabungan dari dua kata, yaitu cume,dan statuere. Cume adalah sebuah preposisi yang berarti “ bersama dengan…”,sedangkan statuere berasal dari kata sta yang membentuk kata kerja pokok stare  yang berarti berdiri.atau mendirikan /menetapkan sesuatu secara bersama-sama dan bentuk tunggal (constitution) berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama  dan bentuk jamak (constitusiones) berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan.
 Menurut C.F. Strong konstitusi memiliki bentuk tertulis dan tidak tertulis. Konstitusi tertulis adalah aturan – aturan pokok dasar negara , bangunan negara dan tata negara, demikian juga aturan dasar lainnya yang mengatur perikehidupan suatu bangsa di dalam persekutuan hukum negara. Konstitusi tidak tertulis/konvensi adalah berupa kebiasaan ketatanegaraan yang sering timbul. Adapun syarat – syarat konvensi adalah: Diakui dan dipergunakan berulang – ulang dalam praktik penyelenggaraan negara, tidak bertentangan dengan UUD 1945, memperhatikan pelaksanaan UUD 1945.[1]

B.                      Kedudukan  ,Fungsi dan Tujuan Konstitusi
Kedudukan,fungsi, dan tujuan konstitusi dalam Negara berubah dari zaman ke zaman. Pada masa peralihan dari Negara feudal monarki atau oligarki, dengan kekuasaan mutlak penguasa kenegara nasional demokrasi, konstitusi berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat dan penguasa yang kemudian secara bengangsur-angsur mempunyai fungsi sebagai alat rakyat dalam perjuangan kekuasaan melawan golongan penguasa. Sejak itu setelah perjuangan dimenangkan oleh rakyat, konstitusi bergeser kedudukan dan perannya dari sekadar penjaga keamanan dan kepentingan hidup rakyat terhadap kezaliman golongan penguasa, menjadi senjata pamungkas rakyat untuk mengakhiri kekuasaan sepihak atau golongan dalam system monarki dan oligarki, serta untuk membangun tata kehidupan baru atas dasar landasan kepentingan bersama rakyat dengan menggunakan berbagai ideology seperti: individualism, liberalisme, universalisme demokrasi dan sebagainya. Selanjutnya, kedudukan dan fungsi konstitusi ditentukan oleh ideology yang melandasi Negara.
    Dalam sejarahnya dunia barat, konstitusi dimaksudkan untuk menentukan wewenang penguasa, menjamin hak rakyat dan mengatur jalannya pemerintahan. Berhubung dengan itu konstitusi dijaman modern tidak hanya memuat aturan-aturan hokum, tetapi juga merumuskan atau menyimpulkan prinsip-prinsip hokum haluan Negara, dan patokan kebijaksanaan yang semuanya mengikat penguasa. Sementara itu Inggris tidak mempunyai undang-undang dasar, tetapi mempunyai konstitusi yang lengkap memuat aturan-aturan keorganisasian Negara berdasarkan perkembangan selama kurang lebih delapan abad. Aturan-aturan konstitusional itu tersebar dalam berbagai undang-undang dan dokumen Negara lainnya, hokum adat (cammon law), dan konvensi (konvension). Walaupun Inggris tidak mempunyai undang-undang dasar, Negara ini merupakan Negara konstitusional tertua yang tumbuh secara evolusi sejak diterbitkannya Magna Charta tahun 1215 yang mewajibkan Raja menegakkan hukum sebagai hasil perlawanan bersenjata dan tuntunan dari para bangsawan karena itu, Negara inggris menjadi contoh bagi Montesquieu ketikan ia mengajarkan teori pemisahan tiga kekuasaan pemerintahan (triyas politica) yang kemudian dirumuskan dalam undang-undang dasar Amerikan Serikat 1787. Alinea didalam Negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, Undang –Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa, sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian, diharapkan hak-hak warga Negara akan lebih terlindungi.[2]
       Kedudukan konstitusi itu merupakan wujud dan manisfestasi Hukum Tertinggi yang harus ditaati oleh pengasa dan rakyatnya. Di bawah ini akan dijelaskan mengenai kedudukan konstitusi dilihat dari derajat konstitusi tertinggi dan bukan tertinggi:

a.       Derajat Konstitusi Tertinggi
Derajat konstitusi tertinggi adalah suatu konstitusi yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam negara. Dalam setiap negara terdapat tata aturan perundang-undangan dengan rangkaian tingkat yang berbeda mengenai kedudukan hukumnya, mulai dari peraturan perundangan yang tertinggi sampai dengan peraturan yang terendah tingkatannya. Derajat konstitusi tertinggi dapat dilihat dari tiga segi yaitu: (1) Dari segi bentuknya. Konstitusi ini berada diatas peraturan perundang-undang yang lain dan juga syarat untuk mengubahnya lebih berat dibandingkan dengan yang lain; (2) Dari segi isinya. Konstitusi memuat hal-hal yang pokok, memuat garis-garis besar tentang dasar dan tujuan negara, menjadi sumber dari peraturan perundang-undang yang lain (3) dari segi perubahannya. Persyaratan untuk merubahnya cukup ketat.
b.      Derajat konstitusi bukan tertinggi
Derajat konstitusi bukan tertinggi adalah suatu konstitusi yang tidak mempunyai kedudukan serta derajat seperti konstitusi derajat tertinggi. Persyaratan yang diperlukan untuk mengubah konstitusi jenis ini sama dengan persyaratan yang dipakai untuk mengubah peraturan-peraturan yang lain, seperti undang-undang. Derajat konstitusi bukan tertinggi dapat dilihat dari tiga segi yaitu: (1) dari segi bentuknya. Konstitusi kedudukannya setara dengan peraturan perundang-undang yang lain;  (2) dari segi isinya. Konstitusi tidak menjadi sumber dari peraturan perundang-undang yang lain;  (3) dari segi perubahannya. Persyaratan perubahannya sama dengan persyaratan perundang-undang biasa. Derajat konstitusi bukan tertinggi jelas derajatnya akan berada di bawah undang-undang dasar, dan bentuk peraturan perundang-undang yang derajatnya di bawah UUD.[3]

3.      Kedudukan konstitusi dari perspektif moral
        Kedudukan konstitusi dari perspektif moral, konstitusi berada di bawah nilai-nilai moral. Otoritas konstitusi kalau dipandang dari segi moral sama halnya dengan pandangan aliran hukum alam, yaitu mempunyai daya ikat terhadap warga negara, karena penetapan konstitusi juga didasarkan pada nilai-nilai moral. Konstitusi sebagai landasan fundamental tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai universal dari etika moral, tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari selalu akan berada di dalam suatu jaringan norma-norma. Tanpa adanya suatu norma tingkah dan perilaku manusia, nilai-nilai moral tidak akan menjadikan suatu tatanan yang baik dan harus dilakukan dari masing-masing individu, karena pelaksanaan moral tidak bisa dipaksakan. Jadi norma-norma (kaidah) atau tingkah laku individu harus ditaati dengan sebaik mungkin, agar dalam konstitusi perspektif moral dapat menjadikan suatu nilai-nilai universal dari etika moral yang baik.
        Moral adalah peraturan perbuatan manusia sebagai manusia ditinjau dari segi baik buruknya dipandang dari hubungannya dengan tujuan akhir hidup manusia berdasarkan hukum kodrati. Esensi tujuan moral adalah mengatur hidup manusia sebagai manusia, tanpa pandang bulu, tanpa pandang suku, agama, dan tidak mengenal daya berlakunya, moral tidak terikat pada waktu tertentu dan juag tidak tergantung pada tempat tertentu.
        Ketentuan-ketentuan tingkah laku manusia beraneka macam corak tergantung dari berat ringannya reaksi yang diberikan manusia dalam menilai tingkah laku dengan adanya ketentuan yang mengenai tentang sopan santun, kesusilaan yang menyangkut moral dan hukum. Adapun teori moral yang digunakan untuk menjelaskan ketaatan terhadap hukum, berlaku pula bagi konstitusi. Jadi secara constitutional phyloshofi, apabila aturan konstitusi bertentangan dengan etika moral, maka seharusnya konstitusi dikesampingkan.

4.      Kedudukan konstitusi Indonesia
Dalam kedudukan konstitusi Indonesia, konstitusi berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat dan penguasa dan menentukan batas wewenang penguasa, menjamin hak rakyat dan mengatur jalannya pemerintahan.

a.       Kedudukan konstitusi pada saat Konstitusi RIS
Rancangan konstitusi RIS hasil panitia urusan ketatanegaraan dan Hukum Tata Negara, pada tanggal 29 Oktober 1949, yang telah disetujui dan ditandatangani bersama, sebagai konstitusi RIS yang terdiri dari 197 pasal. Konstitusi ini kemudian mendapat persetujuan dari KNIP pada tanggal 14 Desember 1949 sebagai Badan Perwakilan Rakyat RI. Sehubungan dengan kedudukan konstitusi RIS adalah Undang-Undang Dasar yang diberi nama secara resmi dengan istilah “Konstitusi Republik Indonesia Serikat” dalam lembaran negara tahun 1950 No.3. Dalam kedudukannya konstitusi RIS merupakan konstitusi derajat tinggi karena persyaratan untuk mengubah lebih berat jika dibandingkan merubah peraturan perundangan yang lain. Adanya sistem pertanggungjawaban menteri, maka kedudukan presiden menurut konstitusiris, sebagai kepala negara (pasal 69), ia tidak bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan, oleh karena itu presiden tidak dapat diganggu gugat (pasal 118 ayat 1).[4]
b.      Kedudukan konstitusi pada saat UUDS 1950
Undang-Undang Dasar sementara 1950 secara formal merupakan perubahan konstitusi RIS, meskipun sebenarnya secara material merupakan pergantian. Rencana Undang-Undang Dasar Sementara, pada tanggal 20 Juli 1950 dikeluarkan “pernyataan bersama pemerintah RIS dan pemerintah RI” yang masing-masing ditandatangani oleh Drs. Moh. Hatta (perdana menteri RIS) dan           A. Halim (perdana menteri RI) yang isinya mengenai persetujuan rencana UUDS negara kesatuan RI. Kedudukan UUDS 1950 merupakan konstitusi derajat tinggi karena persyaratan merubahnya tidak semudah peraturan perundangan biasa dan kedudukan UUDS 1950 merupakan peraturan tertinggi dalam perundang-undangan di atas UU dan UU Darurat.
c.       Kedudukan konstitusi pada saat UUD 1945
Kedudukan UUD 1945 merupakan konstitusi derajat tinggi karena UUD 1945 berkedudukan sebagai hukum dasar dan pedoman pembentukan peraturan perundangan yang lain. Sehingga terdapat hierarki pembentukan peraturan perundangan yang lain. Sehingga terdapat hierarki perundangan sebagai konsekuensinya, diatur dalam UU No.10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundangan. Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan sebagai salah satu perwujudan sumber tertib hukum Indonesia dan dalam tata urutan perundangan republik Indonesia ditetapkan sebagai bentuk peraturan perundangan yang tertinggi, yang menjadi dasar dan sumber bagi semua peraturan perundangan bawahan dalam negara.

C.                      NILAI KONSTITUSI YANG DIANUT OLEH UUD 1945
1.                       Pembagian Nilai – Nilai Konstitusi
Karl Loewenstein dalam bukunya “Reflection on the Value of Constitutions” membedakan 3 (Tiga) macam Nilai Konstitusi atau the values of the constitution, dengan didasarkan pada realitas kekuasaan dan norma konstitusi, yaitu:
1.                       Normative value (Nilai normatif);
2.                       Nominal value (Nilai nominal);
3.                       Semantical value (Nilai semantik).

      Jika berbicara nilai konstitusi, para sarjana hukum pun selalu mengutip pendapat Karl Loewenstein mengenai tiga nilai konstitusi tersebut, yaitu : normatif, nominal, dan semantik. Suatu konstitusi dikatakan memiliki Nilai Normatif apabila konstitusi tersebut resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi itu tidak hanya berlaku dalam arti hukum (legal), tetapi juga nyata berlaku dalam masyarakat dalam arti berlaku efektif dan dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Norma-norma konstitusi itulah yang mengatur dan mejadi guideline pada proses-proses politik yang terjadi di masyarakat.
Konstitusi dikatakan memiliki Nilai Nominal apabila konstitusi tersebut secara hukum jelas berlaku, dan memiliki daya berlaku, namun dalam prakteknya tidak memiliki kenyataan eksistensi. Pasal-pasal yang ada dalam konstitusi tersebut hanya menjadi dokumen hukum semata, dan ketundukan politiknya tidak berdasarkan pada nilai-nilai yang ada dalam konstitusi itu sendiri.
Dalam Praktiknya dapat pula terjadi percampuran antara nilai nominal dan normatif. Hanya sebagian saja dari ketentuan undang-undang dasar yang dilaksanakan, sedangkan sebagian lainnya tidak dilaksanakan dalam praktik, sehingga dapat dikatakan bahwa yang berlaku normatif hanya sebagian, sedangkan sebagaian lainnya hanya bernilai nominal
Suatu konstitusi disebut konstitusi yang memiliki Nilai Semantik jika norma-norma yang terkandung didalamnya secara hukum tetap berlaku, namun dalam kenyataannya adalah sekedar untuk memberikan bentuk untuk melaksanakan kekuasaan politik semata. Sehingga banyak kalangan yang menilai konstitusi hanya sebagai “jargon” atau semboyan pembenaran sebagai alat pelanggengan kekuasaan saja. Pada intinya keberlakuan dan penerapan konstitusinya hanya untuk kepentingan bagaimana mempertahankan kekuasaaan yang ada.
Menurut Karl Lowenstein setiap konstitusi selalu terdapat dua aspek penting, yaitu sifat idealnya sebagai teori (das sollen) dan sifat nyatanya sebagai praktik (das sein). Suatu konstitusi yang mengikat itu bila dipahami, diakui, diterima, dan dipatuhi oleh masyarakat bukan hanya berlaku dalam arti hukum, akan tetapi juga merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif.

2.                       Nilai Konstitusi Indonesia Berdasarkan UUD 1945
Berbicara konstitusi Indonesia tidak terlepas dari konstitusi tertulisnya yakni, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. UUD 1945 sebelum amandemen memiliki kecenderungan bersifat konstitusi yang bernilai semantik. Contohnya UUD 1945 pada zaman Orde baru dan Orde lama pada waktu itu berlaku secara hukum, tetapi dalam praktiknya keberlakuan itu semata-mata hanya untuk kepentingan penguasa saja dengan dalih untuk melaksanakan Undang-Undang dasar 1945. Kenyataan itu dapat kita lihat dalam masa Orde Lama ikut campur penguasa dalam hal ini esekutif (Presiden)  dalam bidang peradilan, yang sebenarnya dalam pasal 24 dan 25 Undang-Undang dasar 1945 harus bebas dan tidak memihak, hal tersebut dapat terlihat dengan adanya Undang-undang No. 19 tahun 1965.
Pada masa Orde Baru konstitusi pun menjadi arena pelanggengan kekuasaan hal tersebut terlihat dengan rigidnya sifat konstitusi yang “sengaja” dibuat dengan membuat peraturan atau prosedur perubahan demikian sulit, padahal Undang-Undang Dasar pada saat itu dibentuk dengan tujuan sebagai Undang-Undang Dasar sementara, mengingat kondisi negara yang pada waktu itu telah memproklamirkan kemerdekaan maka diperlukanlah suatu Undang-Undang dasar sebagai dasar hukum tertinggi. Namun dikarenakan konstitusi tersebut masih dimungkinkan untuk melanggengakan kekuasaan, maka konstitusi tersebut dipertahankan. Maka timbulah adigium negatif “Konstitusi akan dipertahankan sepanjang dapat melanggengkan kekuasaan”.
Kemudian, Pasca perubahan Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke-4, memberikan nilai lain pada konstitusi kita. Dalam pasal - pasal konstitusi kita memiliki nilai nominal. Misal pada pasal 28B ayat (2) tentang HAM, yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kekeluargaan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Walaupun dalam ayat tersebut terdapat hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi namun kenyataannya masih banyak diskriminasi-diskriminasi penduduk pribumi keturunan. Kemudian pasal 29 ayat (2), yang berbunyi “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Perkataan Negara menjamin kemerdekaan menjadi sia-sia kalau agama yang diakui di Indonesia hanya 5 dan 1 kepercayaan. Hal tersebut menjadi dilematis dan tidak konsekuen, bila memang kenyataan demikian, mengapa tidak dituliskan secara eksplisit dalam ayat tersebut. Hal lain adalah dalam pasal 31 ayat (2), yang berbunyi “ Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya” . Kata-kata wajib membiayainya seharusnya pemerintah membiayai seluruh pendidikan dasar tanpa terdikotomi dengan apakah sekolah tersebut swasta atau negeri, karena kata wajib disana tidak merujuk pada sekolah dasar negeri saja, seperti yang dilaksanakan pemerintah tahun ini, tetapi seluruh sekolah dasar. Pasal selanjutnya adalah pasal 33 ayat (3), yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kata dipergunakan dalam ayat tersebut tampaknya masih jauh dari kenyataan, betapa tidak banyak eskploitasi sumber daya alam bangsa ini yang dikuras habis oleh perusahaan asing yang sebagian besar keuntungannya di bawa pulang ke negara asal mereka. Kondisi demikian masih jauh dari tujuan pasal tersebut yakni kemakmuran rakyat bukan kemakmuran investor. Selanjutnya pasal 34 ayat (1), yang berbunyi “ fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Kata dipelihara disini bukan berarti fakir miskin dan anak-anak terlantar dibiarkan “berpesta ngemis” atau bergelandang tanpa dicari solusi dan menjamin jaminan sosial dimana sesuai dengan tujuan awal, yakni kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Dari penjelasan tersebut, tampaknya UUD 1945 mempunyai nilai nominal. Sebab walaupun secara hukum konstitusi ini berlaku dan mengikat peraturan dibawahnya, akan tetapi dalam kenyataan tidak semua pasal dalam konstitusi berlaku secara menyeluruh, yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif dan dijalankan secara murni dan konsekuen.[5]

3.                       Penerapan Nilai-Nilai Konstitusi dalam UUD 1945
UUD 1945 telah mengalami empat kali perubahan, yaitu Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan Kedua Tahun 2000, Perubahan Ketiga Tahun 2001, dan Perubahan Keempat Tahun 2002. Dalam empat kali perubahan itu, materi UUD 1945 yang asli telah mengalami perubahan besar-besaran dan dengan perubahan materi yang dapat dikatakan sangat mendasar. Secara substantif, perubahan yang telah terjadi atas UUD 1945 telah menjadikan konstitusi proklamasi itu menjadi konstitusi yang baru sama sekali, meskipun tetap dinamakan sebagai UUD 1945.
Dalam Pasal II Aturan Tambahan Perubahan Keempat UUD 1945 ditegaskan, “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”. Dengan demikian, jelaslah bahwa sejak tanggal 10 Agustus 2002, status Penjelasan UUD 1945 yang selama ini dijadikan lampiran tidak terpisahkan dari naskah UUD 1945, tidak lagi diakui sebagai bagian dari naskah UUD. Jika pun isi Penjelasan itu dibandingkan dengan isi UUD 1945 setelah empat kali berubah, maka jelas satu sama lain sudah tidak lagi bersesuaian, karena pokok pikiran yang terkandung di dalam keempat naskah perubahan itu sama sekali berbeda dari apa yang tercantum dalam penjelasan UUD 1945 tersebut.





BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

1.    Suatu konstitusi dikatakan memiliki Nilai Normatif apabila konstitusi tersebut resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi itu tidak hanya berlaku dalam arti hukum (legal), tetapi juga nyata berlaku dalam masyarakat dalam arti berlaku efektif dan dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Norma-norma konstitusi itulah yang mengatur dan mejadi guideline pada proses-proses politik yang terjadi di masyarakat.
2.    Konstitusi dikatakan memiliki Nilai Nominal apabila konstitusi tersebut secara hukum jelas berlaku, dan memiliki daya berlaku, namun dalam prakteknya tidak memiliki kenyataan eksistensi. Pasal-pasal yang ada dalam konstitusi tersebut hanya menjadi dokumen hukum semata, dan ketundukan politiknya tidak berdasarkan pada nilai-nilai yang ada dalam konstitusi itu sendiri.
3.   Suatu konstitusi disebut konstitusi yang memiliki Nilai Semantik jika norma-norma yang terkandung didalamnya secara hukum tetap berlaku, namun dalam kenyataannya adalah sekedar untuk memberikan bentuk untuk melaksanakan kekuasaan politik semata. Sehingga banyak kalangan yang menilai konstitusi hanya sebagai “jargon” atau semboyan pembenaran sebagai alat pelanggengan kekuasaan saja. Pada intinya keberlakuan dan penerapan konstitusinya hanya untuk kepentingan bagaimana mempertahankan kekuasaaan yang ada.
4.   Pada masa Orde Baru konstitusi pun menjadi arena pelanggengan kekuasaan hal tersebut terlihat dengan rigidnya sifat konstitusi yang “sengaja” dibuat dengan membuat peraturan atau prosedur perubahan demikian sulit, karena pada saat itu, nilai konstitusi yang berlaku adalah nilai semantik
5.   UUD 1945 mempunyai nilai nominal. Sebab walaupun secara hukum konstitusi ini berlaku dan mengikat peraturan dibawahnya, akan tetapi dalam kenyataan tidak semua pasal dalam konstitusi berlaku secara menyeluruh, yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif dan dijalankan secara murni dan konsekuen.



DAFTAR PUSTAKA
Mahfud, Moh. 2003.Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.
Syahrizal, Ahmad. 2006. Peradilan Konstitusi.Jakarta : Pradnya Paramita.
Syahuri, Taufiqurrohman 2011. Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum.Jakarta : Kencana Media Group.
Thaib, Dahlan. 2012. Teoeri dan Hukum Konstitusi. Jakarta :Raja Feafindo Persada.





[1]  Dahlan Thaib, Teori dan Hukum Konstitusi ( Jakarta :PT Raja Grafindo, 2012), hlm5
[2] Dahlan Thaib, Teori dan Hukum Konstitusi…, op. cit., hlm 17
[3] Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi ( Jakarta : PT Pradnya Paramita, 2006) , hlm 58
[4] Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum (Jakarta PT Rineka Cipta, 2003), hal10
[5] Moh Mahfud , Demokrasin dan Konstitusi di Indonesia (Jakarta PT Rineka Cipta, 2003), hlm 34




Labels: MAKALAH

Thanks for reading Makalah Pengertian, Kedudukan, Fungsi dan Tujuan Konstitusi. Please share...!

0 Comment for "Makalah Pengertian, Kedudukan, Fungsi dan Tujuan Konstitusi"

Back To Top