BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah
Aceh telah memperlihatkan adanya dinamika hubungan antara pranata sosial
masyarakat dengan syariat islam serta adat istiadat dan hukum positif yang
menjadi aturan langsung yang mengikat. Syariat islam telah menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat Aceh,
Pelaksanaan syariat islam di Aceh merupakan buah perjuangan panjang
para pejuang syariat yang melalui masa yang panjang bahkan nyaris terputus
ditengah jalan. Maka sudah sepantasnya masyarakat Aceh bersyukur kepada Allah
SWT atas nikmat ini, bentuk syukurnya pun tidak hanya sebatas bersujud syukur
tetapi juga harus mempergunakan kesempatan ini dengan semaksimal mungkin.
Pengimplementasian syariat islam di Aceh tidak lepas dari peran
lembaga-lembaga adat yang ada diberbagian tingkatan komunitas masyarakat.
Lembaga-lembaga adat tersebut memiliki otoritas yang cukup luas terhadap
pelaksanaan hukum dari berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. hukum
hukum yang berlaku sebelum disahkan pemberlakuan syariat islam dalam banyak hal
merujuk kepada hukum yang terbentuk dalam masyarakat sejak dahulu. Hukum hukum
tersebut dilaksanakan oleh lembaga-lembaga yang terdapat dan diakui oleh
masyarakat sebagai salah satu sumber rujukan pelaksanaan hukum dalam berbagai
persoalan yang dihadapi oleh masyarakat setempat. Maka dari itu dalam makalah
ini penulis akan menejelaskan tentang lembaga–lembaga adat baik dari segi
sejarah, tingkatan, adat yang terdapat didalamnya, sanksi adat, maupun
eksistensi keberadaaanya.
B.
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana penerapan adat diaceh
sehingga lembaga-lembaga adat aceh memiliki peran dalam penegakan syariat di
aceh ?
b.
Hukum dan sanksi adat apa saja yang
terdapat di dalam lingkungan masyarakat Aceh ?
c.
Bagaimana eksistensi keberdaaan
lembaga-lembaga adat Aceh ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Lembaga Adat
Aceh Dan Perannya Dalam Penegakan Syariat Di Aceh
Adat
merupakan pencerminan dari suatu bangsa, sebagai salah satu penjelmaaan dari pada
jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke-abad. Perkembangan kehidupan dan
peradaban modern belum mampu menghilangkan adat kebiasaan hidup yang berkembang dalam masyrakat. Perkembangan adat istiadat itu sendiri hanya dapat berproses
melakukan penyesuaian dengan keadaan dan kehendak alam. Misalnya, adat istiadat
indonesia tercermin dalam bhinneka tunggal ika walaupun berbeda suku,
agama,ras, daerah tetapi tetap satu, yaitu atas dasar bentuk dan sifat
indoensia yang satu.
Adat
istiadat yang hidup dikembangkan sebagai tradisi rakyat. Inilah yang kemudian
berkembang menjadi dasar-dasar bagi hukum adat. Misalnya adat istiadat
masyarakat Aceh “ peusijuk” yang sering dipraktekan dalam upacara
perkawinan, keluarga dan lainnya. Jika dilihat dari segi pengertian adat yang
justru menjadi perilaku terdapat dalam tatanan kehidupan masyarakat sedangkan
hukum adat tercermin dari keteraturan, ketertiban, dan kepatuhan karena
memiliki norma-norma kaedah tatanan sehingga bila terjadi pelanggaran maka akan
diberikan sanksi-sanksi yang sangat tegas serta berwibawa. Adapun persamaan
antara adat dengan hukum adat adalah keduanya merupakan satuan prilaku yang
terdapat dalam tatanan kehidupan masyarakat. Sedangkan perbedaan terletak pada
penerapan sanksi bila melakukan pelanggaran.[1]
Adat
istiadat menurut realitas sosiologi kehidupan masyarakat Aceh dapat dirumuskan
dalam dua bentuk :
a.
Adat sebagai adat kebiasaan
Suatu reusam
yang dapat melahirkan aneka apresiasi, upacara, seni, etika, modifikasi pakaian
dan makanan dan ornemen-oenemen spesifik lainnya yang umumnya mengandung nilai
komersial untuk dipasarkan.
b.
Adat sebgai norma/kaedah hukum.
Dalam sistem
penyelesaian persengketaan dalam masyrakat gampong dan mukim, melalui lembaga
penegakan hukum adat yang didalamnya mengandung sanksi.[2]
Setiap masyarakat yang hidup dalam keteraturan, tertib dan rukun damai adalah masyarakat berbudaya. Kehidupan budaya masyarakat memiliki sisitem hukum yang berlaku bagi kelompoknya. Setiap masyarakat mempunyai tatanan hidupnya sendiri, dan sistem hukum sendiri. Hukum adat adalah salah satu tata hukum diantara bermacam-macam tata hukum di dunia. Dalam masyarakat aceh dikenal 4 sumber hukum adat :
1.
Adatullah, hukum adat yang hampir
mutlak didasarkan pada hukum Allah ( bersumber pada Al-quran dan Hadis ).
2.
Adat Tunnah, adat istiadat sebgai
manifestasi dari qanun dan reusam yang mengatur kehidupan masyrakat.
3.
Adat Muhakamah, hukum adat yang
dimanifestasikan dari musyawarah dan mufakat yang dilakukan.
4.
Adat Jahiliyah, adat kebiasaan
masyarakat kadang-kadang tidak sesuai dengan jaaran islam, namun masih digemari
pleh sebagian masyarakat kecil.
Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum dibawah kecamatan yang
terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu
yang dipimpin oleh imuem mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung dibawah
kepemimpinan camat. Sedangkan gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang
berada dibawah mukim dan dipimpin oleh Geuchik yang berhak menyelenggarakan
rumah tangganya sendiri.[3]
a. Legalitas lembaga-lembaga adat Aceh
Masyarakat Aceh dikenal dengan masyarakat yang memiliki budaya yang khas dan mengakar sejak
masa pemerintahan kerajaan, masa penjajahan sampai sekarang. Setiap adat yang
dijalankan adalah adat yang selaras dengan islam, adat hanya bisa diberlakukan
apabila tidak bertentangan dengan agama islam. Untuk menjaga dan melestarikan
adat tersebut maka dibentuklah lembaga-lembaga adat.
Dalam undang-undang pemerintah Aceh ( BAB XIII pasal 98 ayat 1 dan
2) dijelaskan bahwa lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana
partisipasi masyarakat dalam penyelenggraan pemerintah Aceh dan Kab/Kota
dibidang keamanan, keteraturan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat.
Lembaga adat sebagaiman yang dimaksud dalam ayat 1 dan 2 meliputi:
·
Majlis Adat Aceh ( MAA)
Memiliki tugas memabantu wali naggroe dalam membina, mengkodinir
lembaga-lembaga adat sebagaimana di maksud dalam pasal 2 ayat 2 huruf b samapai
huruf m.
Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana di maksud pada ayat 1 di
bentuk susunan organisasi dan tata kerja majelis adat Aceh sebagai mana di atur
dalam Qanun Aceh.
· Imueum Mukim
Imueum Mukim atau nama lain bertugas:
a.
Melakukan pembinaan masyarakat
b.
Melaksanakan kegiatan adat istiadat
c.
Menyelesaikan sengketa
d.
Membantu peningkatan pelaksanaan
syariat islam
e.
Membantu penyelenggaraan
pemerintahan
f.
Membantu pelaksanaan pembangunan.
· Imum Chik
Imum chik atau nama lain bertugas:
a. Mengkoordinasikan pelaksanaan
keagamaan dan peningkatan peribadatan serta pelaksanaan syariat islam dalam
kehidupan masyarakat.
b.
Mengurus, menyelenggarakan dan
memimpin seluruh kegiatan yang berkenaan dengan pemeliharaan dan kemakmuran
masjid.
c.
Menjaga dan memelihara niali-nilai
adat, agar tidak bertentangan dengan syariat islam.
· Geuchik
a.
Membina kehidupan beragaman dan
pelaksaan islam dalam masyarakat
b.
Menjaga dan memelihara adat dan
istiadat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat
c.
Memimpin penyelenggaraan
pemerintahan gampong
d.
Mengerakkan dan mendorong
partisipasi masyarakat dalam membangun gampong
e.
Membina dan memajukan perekonomian
masyarakat
f.
Memelihara pelestarian fungsi
lingkungan hidup
g.
Memelihara keamanan, ketentraman dan
ketertiban serta mencegah perbuatan masyarakat
h.
Mengajukan rancangan qanun gampong
kepada tuha peut gampong atau nama lain untuk mendapatkan persetujuan
i.
Mengajukan rancangan anggaran
pendapatan belanja gampong kepada tuha peut gampong atau nama lain untuk
mendapatkan persetujuan
j.
Memimpin dan menyelesaikan
masalah-masalah sosial pemasyarakatan
k.
Menjadi pendamai terhadap
perselisihan antar penduduk dalam gampong
· Tuha Pheut
a.
Membahas dan menyetujui anggaran
pendapatan belanja gampong
b.
Membahas dan menyetujui Qanun
gampong
c.
Mengawasi pelaksanaan pemerintah
gampong
d.
Menampung dan menyalurkan aspirasi
masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahn dan pembangunan gampong
e.
Merumuskan kebijakan gampong bersama
keuchik
f.
Memberi nasehat dan pendapat kepada
geuchik.
g.
Menyelesaikan sengketa yang timbul
dalam masyarakat bersama pemangku adat.
Sebuah institusi budaya gampongyang berfungsi memberi nasehat
kepada geuchik dalam berbgai bidang kebutuhan masyarakat, terutama dalam bidang
mausyawarah gampong. Tuha pheut terdiri dari 4 orang tokoh yaitu, ulama,tokoh
adat, tokoh mayarakat, tokoh pemerintahan tatanan gampong. Tuha pheut dipilih langsung
oleh rakyat.
- Tuha Lapan
a.
Pada tingkat gampong atau mukim
dapat di bentuk tuha lapan atau nama lain sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan masyarakat
b.
Tuha lapan atau nama lain dipilih
melalui musyawarah gampong atau musyawarah mukim
c.
Tuha lapan atau nama lain
beranggotakan unsur tuha peut atau beberapa orang mewakili bidang keahlian
sesuai kebutuhan gampong atau mukim
d.
Pengangkatan dan pemberhentian tuha
lapan dan fungsinya di tetapkan dalam musyawarah gampong atau mukim
·
Imum Meunasah
a.
Memimpin, memgkoordinasikan kegiatan
peribadatan, pendidikan serta pelakasaan syariat islam dalam kehidupan
masyarakat
b.
Mengurus, menyelenggarakan dan
memimpin seluruh kegiatan yang berkenaan dengan peme;iharaan dan kemakmuran
meunasah
c.
Memberi nasehat dan pendapat kepada
geuchik
d.
Meneyelesaikan sengketa yang timbul
dalam masyarakat bersama pemanggku adat
e.
Menjaga dan memelihara nilai-nilai
adat agar tidak bertentangan dengan syariat islam
·
Keujreun Blang
Perangkat lembaga adat dibidang pertanian yang berhubungan dengan
sistem penggairan sawah dan hal-hal yang berhubungan dengan sengketa yang
berkaitan dengannya. Adapun tugas-tugasnya meliputi :
a.
Menentukan dan mengkoordinasikan
tata cara turun ke sawah
b.
Mengatur membagian air ke sawah
petani
c.
Membantu pemerintahan dalam bidang
pertanian
d.
Memngkoordinasikan kenduri atau
upacara lain nya yang berkaitan dengan adat dalam usaha pertanian sawah
e.
Memberi teguran atau sanksi kepada
petani yang melanggar aturan-aturan adat bersawah atau tidak melaksanakan
kewajiban lain dalam sistem pelaksanaan pertanian sawah secara adat
f.
Meneyelesaikan sengketa antar petani
yang berkaitan pelaksanaan usaha pertanian di sawah.
g· Panglima Laot
Pejabat adat yang bertanggung jawabatas segala ihwal yang berhubungan denganpermasalahan pencarian rezeki di laut.
h· Panglima Glee
Pejabat adat yang bertanggung jawabatas segala ihwal yang berhubungan dengan pengelolaan sumber kehidupandi wilayah gunung, termasuk pembinaan danpemeliharaan lingkungan.
i· Peutuwa Sineubok
j· Hari Peukan
Pejabat adat yang bertanggung jawab mengatur pembinaaaan ketertiban pasarsebagai sentral ekonomirakyat.
k· Syahbanda
Pejabat adat yang bertanggung jawabatas urusan kapal/perahu dipelabuhan/hulu sungai dan lainnya.[4]
Adapun tokoh-tokoh di lembaga adat ditingkat gampong meliputi: Geuchik, tuha pheut, tuha lapan, sekretaris gampong dan kepala dusun. Sedangkan tokoh tlembaga ditingkat mukim ( kab/kota ) meliputi : Imuem mukim, imuem chik, tuha pheut mukim, dan sekretaris mukim. Serta tokoh dibidang ekonomi rakyat meliputi : keujerun blang,panglima laot, peutuwa sinebok, pawang uteun, pawang glee, harya peukan, syahbanda.[5]
g· Panglima Laot
Pejabat adat yang bertanggung jawabatas segala ihwal yang berhubungan denganpermasalahan pencarian rezeki di laut.
h· Panglima Glee
Pejabat adat yang bertanggung jawabatas segala ihwal yang berhubungan dengan pengelolaan sumber kehidupandi wilayah gunung, termasuk pembinaan danpemeliharaan lingkungan.
i· Peutuwa Sineubok
j· Hari Peukan
Pejabat adat yang bertanggung jawab mengatur pembinaaaan ketertiban pasarsebagai sentral ekonomirakyat.
k· Syahbanda
Pejabat adat yang bertanggung jawabatas urusan kapal/perahu dipelabuhan/hulu sungai dan lainnya.[4]
Adapun tokoh-tokoh di lembaga adat ditingkat gampong meliputi: Geuchik, tuha pheut, tuha lapan, sekretaris gampong dan kepala dusun. Sedangkan tokoh tlembaga ditingkat mukim ( kab/kota ) meliputi : Imuem mukim, imuem chik, tuha pheut mukim, dan sekretaris mukim. Serta tokoh dibidang ekonomi rakyat meliputi : keujerun blang,panglima laot, peutuwa sinebok, pawang uteun, pawang glee, harya peukan, syahbanda.[5]
a.
Fungsionalis-fungsionalis dalam
masyarakat
Fungsionalis hukum adalah para tokoh, pimpinan, ketua/petua-petua
adat, pandai memberikan pemahaman, berwibawa, berwenang memberikan saran dan
berwenang menjalankan keputusan-keputusan musyawarah. Dalam masyrakat terdapat
fungsionis sebagai fungsional yang berperan dalam memimpin masyarakat baik
sebgai tokoh adat/ketua-ketua adat. Misalnya di Aceh adanya Geuchik yang
dulunya disebut Ulee Balang/penguasa adat, pimpinan masyrakat ‘Tengku”
yang mengurus bidang agama dalam masyarakat. Tuah Pheut dan Tuha
Laphan sebagai penasehat pimpinan gampong. Seorang Geuchik dalam masyarakat
Aceh harus mengembangkan 3 fungsi :
a.
Legislatif /membuat perturan adat. Geuchik
untuk menetapkan sebuah hukum mengadakan musyawarah, tugas-tugas pembinaan
danpengawasan yang berkenaan dengan tatanan masyrakat.
b.
Eksekutif/ melaksanakan peraturan
adat. Fungsi legislatif yang berfungsi pada dewan musyawarah Gampong, yaitu
Geuchik, Imam, Tuha Pheut dan Tuha Laphan untuk memberikan keputusan-keputusan
hukum.
c.
Yudikatif/menegakkan aturan/
mengawasi peraturan. Fungsi ini melekat pada musyawarah/rapat paripurna gampong
melalui seluruh perangkat gampong yang bersivat evaluasi dan pengawasan[6]
Dalam hubungan pelaksanaan diberbagai kebijakan dalam syariat
islam, perda no.7 tahun 2000 tentang penyelenggaraan adat telah memberikan
wewenang kepada lembaga adat, khususnya
Imuem Mukim, Geuchik, Tengku Imuem, Tuha Pheut dan Tuha Lapan dalam
menerapkan kebijakan yang berkaitan dengan syariat islam. Lebih dari itu
lembaga adat diberikan kewenangan untuk memberikan dan menetapkan sanksi
terhadap sengketa/ pelanggaran yang terjadi digampong mereka masing-masing.[7]
b.
Peran Lembaga Adat Dalam Penerapan
Syariat Islam.
· Sebagai lembaga yang menyelesaikan sengketa dan permasalahan dalam
masyarakat.
Penyelesaian setiap sengketa yang
terjadi dapat dilakukan secara bertahap, terlebih dahulu dengan cara damai
melalui musyawarah pada tingkat gampong yang melibatkan Tuha Peut, Tuha Lapan,
Geuchik. Jika pada tingkat gampong tidak bisa diselesaikan maka akan dialihkan kepada
tingkan kemukiman. Pada tingkat kemukiman penyelesaian perkara dipimpin oleh
Imuem Mukim yang melibatkan tokoh adat ditingkat mukim. Adapun kategori perkara
yang diselesaikan diantaranya masalah yang timbul di bidang persawahan di
mediasi oleh Keujeruen Blang, masalah laut oleh panglima laot, masalah hutan
oleh Panglima Uteun, masalah pasar oleh Haria Peukan. Semunya dikoordinasikan
terlebih dahulu kepada Geuchik sebagai ketua gampong.
· Sebagai media sosialisasi syariat.
Lembaga adat sebgai salah satu bentuk dari pranata sosial dapat
menjadi ujung tombak yang berada digrada depan mensosoalisasikan hal-hal yang
berkaitan dengan syariat islam yang dapt dimulai dari lembaga adat tingkat
gampong. Seperti halnya menasah dan mesjid sebenarnya keduanya merupakan sumber
energi budaya aceh, karena fungsinya bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi
juga dijadikan tempat untuk pelaksanaan berbagai kegiatan sosial, pendidikan,
budaya bahkan politik.
· Sebagai lembaga pengontrol sosial
Dalam konteks ini, lembaga adat menjadi pengugat bagi masyarakat
untuk melestarikan nilai-nilai budaya yang asli yang bersifat agamis. Jika
sebuah masyarakat mempunyai sistem sosial yang kuat, maka secara otomatis
kontrol sosial akan berjalan dengan baik. Masyarakat akan mematuhi norma-norma
sosial sebagaimana mereka mematuhi norma hukum dan begitupun sebaliknya.
Bagi
masyarakat Aceh agama dan adat merupakan penopang pranata sosial dengan motto “
adat meukoh reubong, hukoem meukoh purieh. Adat jeut beurangoe ta kong,
hukoem hanjeut beurango ta kieh ( adat bagia memotong rebong, gampang
tumbuh lagi.tetapi hukum bagai memotong bambu tua, sekali potong tidak akan
tumbuh lagi. Adat boleh disampingi, tetapi hukum tak mudah dikiaskan begitu
saja).” Hukoem menyoe hana adat tabeu, adat menyoe hana hukoem bateu”.
Dari
dua pepatah diatas dapat mencerminkan bagiamana persepsi masyarakat Aceh dalam
menempatkan posisi agama dan adat. Adat merupakan seperangkat nilai, norma
kehidupan dan keyakinan sosial yang tumbuh dan berakar dalam kehidupan
masyarakat. Pada tataran praktis, pranata adat dan agama di Aceh berkaitan
dengan kelindah dan berjalan seiring dengan saling memperkuat satu sama
lainnya. Namun tetap memiliki nuansanya sendiri.[8]
Segala hal yang berkaitan dengan peradilan adat gampong atau mukim
( dapat diselesaikan di gampong/mukim), sepanjang bentuk kasus persengketaaan/
pelanggaran, yang terjadi dalam masyarakat, sebagaimana ditentukan dalam qanun
no.9 tahun 2008, pasal 13 sebagai berikut, Sengketa/perselisahan adat meliputi
:
a.
Perselisihan dalam rumah tangga.
b. Sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraid
c. Perselisihan antar warga.
d. Khalwat meusum.
e. Perselisihan tentang hak milik.
f. Pencurian dalam keluarga( pencurian ringan )
g. Perselisihan harta seharkat
h. Pencurian ringan.
i. Pencurian ternak peliharaan
j. Pelangaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan.
k. Persengketaan di laot.
l. Persengketaan di pasar.
m. Menganiaya ringan.
n. Pembakaran hutan ( dalam sekala kecil yang merugikan komunitas adat)
o. Pelecehan,fitnah, hasut dan pencemaran nama baik.
p. Pencenmaran lingkungan ( skala ringan)
q. Ancam mengancam ( tergantung dari jenis ancaman )
r. Perselisihan lain yang melanggar adat istiadat.[9]
a . Sebagai institusi membudayakan hukum.
B. Hukum Adat Dan Sanksi-Sanksi Terhadapnya.
b. Sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraid
c. Perselisihan antar warga.
d. Khalwat meusum.
e. Perselisihan tentang hak milik.
f. Pencurian dalam keluarga( pencurian ringan )
g. Perselisihan harta seharkat
h. Pencurian ringan.
i. Pencurian ternak peliharaan
j. Pelangaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan.
k. Persengketaan di laot.
l. Persengketaan di pasar.
m. Menganiaya ringan.
n. Pembakaran hutan ( dalam sekala kecil yang merugikan komunitas adat)
o. Pelecehan,fitnah, hasut dan pencemaran nama baik.
p. Pencenmaran lingkungan ( skala ringan)
q. Ancam mengancam ( tergantung dari jenis ancaman )
r. Perselisihan lain yang melanggar adat istiadat.[9]
a . Sebagai institusi membudayakan hukum.
B. Hukum Adat Dan Sanksi-Sanksi Terhadapnya.
Dalam
tatanan kehidupan masyarakat adat memiliki budaya perilaku yang bersifat seremonial/upacara-upacara
dan ada yang mengandung ancaman dan sanksi. Meskipun demikian dalam setiap
tatanan kehidupan yang mengandung sanksi masyarakat tidak menyebutkannya “
hukum adat” tetapi tetap menyebutkannya “ adat”. Maka bisa disimpulakan hukum
adat merupakan aturan tingkah laku yang bersanksi dan hidup berkembang sebagai
tatanan masyarakat serta dipatuhi dengan kesadaran dan tanggung jawaban menjadi
pedoman hukum dimana fungsionaris hukum berperan didalamnya dan materi hukumnya
tidak dikodifikasikan.[10]
Dalam
masyarakat Aceh ada suatu ungkapan bijak / marid maja,yang berkaitan
dengan penyelesaian sengketa/perselisihan, yaitu : “Yang ceuko ta peu
jeureneuh, yang tabeue ta peu mameh, yang rayeuk ta peu ubeut, yang ubeut ta
peu gadoeh, dari pada tameupakeu geut tameu ngoen, tanyoe lage soet dengoen
syedara beu le saba dalam hateu, poe
rabbol kadeuh han geupeu decha”.
Maksud
dari marid maja diatas adalah sangat penting bagi masyarakat gampong untuk
memelihara kerukunan, keharmonisan, kedamaan, dan mewujudkan keadilan. Dalam
konteks hukum, “yang rayeuk tapeu ubiet, yang ubit tapeu gadoeh”.
Bermakna, permasalahan pelik mesti disederhankan dan permasalahan sederhana
mesti dilenyapkan. “Dari pada tameu pake ngeun tameu ngoen., tanyoe lage
soet dengan syedara., beule saba dalam hateu., poe rabbol kadeuh han geu
peudecha”.
Hidup
rukun bagi masyarakat gampong bagaikan hidup satu ayah satu ibu, dan rasa
persaudaraan inilah yang selalu tercermin dalam diri warga gampong, sehingga
sengketa/perselisihan yang terjadi ditengah-tengah mereka selalu diupayakan
diselesaikan dengan hukum adat yang berlaku dalam wilayahnya.
DARI
aspek budaya adat Aceh, kesadaran hukum adat dapat dilihat pada fungsi
meunasah, dimana ditemukan realita perilaku masyarakat diantaranya :
a.
Tempat bermufakatuntuk berbagai
keperluan.
b.
Tempat tidur para pemuda yang belum
menikah.
c.
Tempat menginap orang yang kemalaman.
d.
Tempat pembinaan agama dan
pendidikan.
e.
Tempat ibadah.[11]
Bagi
masyarakat adat gampong, kekeluargaan merupakan prinsip utama dalam masyarakat
peradilan adat Aceh. Ketika persoalan dan peristiwa hukum terjadi dalam
masyarakat, selalu diupayakan penyelasaiannya dengan cara kekeluargaan dan mengutamakan
prinsip keikhlasan antar sesama meraka. Penyelesaian sengketa/ perselisihan
dengan hukum adat merupakan perbuatan baik dan mulia kedudukannya bagi secara
hidup bersama baik secara hidup bersama di dunia maupun disisi Allah, karena
hukum adat dengan hukum islam sangat erat hubungannya. Asas-asas yang terdapat
dalam hukum adat Aceh merupakan ajaran dalam islam. Dengan demikian jelas bahwa
penyelesaian sengketa/perselisihan secara adat tidak bertentangan dengan agama
islam yang mereka anut yang menganjurkan perdamaian.
Mengacu
pada uraian diatas, jelaslah bahwa gampong telah memiliki aspek historis dan
sosiologis dalam hal penyelesaian sengketa/perselisihan menurut hukum adat. Selain
dua aspek diatas (historis dan sosiologis), sekarang secara juridi formal pun
penyelesaian sengketa secara adat di gampong telah memiliki payung hukum yang
cukup tegas dan kuat, yaitu :
a.
UU. NO.44. tahun 1999, Tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh
b. UU. NO.11 tahun 2006. Tentang pemerintahan aceh.
c. UU. NO.6 tahun 2014, Tentang Desa ( pasal 103 )
d. Qanun NAD NO. 4 tahun 2003, Tentang Pemerintahan Hakim.
e. Qanun NAD NO. 5 Tahun 2003, Tentang Pememrintahan Gampong.
f. Qanun Aceh NO.9 Tahun 2008, Tentang Pembinaan Kehidupan Adat Dan Istiadat.
g. Qanun Aceh no.10 Tahun 2008, Tentang Lembaga Adat.
h. Peraturan Gubernur Aceh no.25 tahun 2011, Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pemerintah Gampong.
i. Peraturan Adat Aceh no. 60 tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Adat Dan Istiadat.
j. Surat Keputusan Bersama ( SKB ) antara gubernur Aceh dengan kepolisian daerah, Aceh dan MAA no. 189/677/2017 tanggal 20 desember 2011 Tentang Penyelenggaran Peradilan Adat Gampong Dan Mukim.
Saat ini dengan berlakunya UU no.6 tahun 2014 tentang desa, dalam pasal 103 telah diatur pula kewenagan desa adat dalam penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah. Penyenggaraan sidang perdamaian peradilan desa adat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adanya ketentuan ini, menjadi penguat bagi prosuk hukum Aceh bagi qanun maupun SKB, dan peraturan gubernur Aceh yang telah lahir sebelumnya.
b. UU. NO.11 tahun 2006. Tentang pemerintahan aceh.
c. UU. NO.6 tahun 2014, Tentang Desa ( pasal 103 )
d. Qanun NAD NO. 4 tahun 2003, Tentang Pemerintahan Hakim.
e. Qanun NAD NO. 5 Tahun 2003, Tentang Pememrintahan Gampong.
f. Qanun Aceh NO.9 Tahun 2008, Tentang Pembinaan Kehidupan Adat Dan Istiadat.
g. Qanun Aceh no.10 Tahun 2008, Tentang Lembaga Adat.
h. Peraturan Gubernur Aceh no.25 tahun 2011, Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pemerintah Gampong.
i. Peraturan Adat Aceh no. 60 tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Adat Dan Istiadat.
j. Surat Keputusan Bersama ( SKB ) antara gubernur Aceh dengan kepolisian daerah, Aceh dan MAA no. 189/677/2017 tanggal 20 desember 2011 Tentang Penyelenggaran Peradilan Adat Gampong Dan Mukim.
Saat ini dengan berlakunya UU no.6 tahun 2014 tentang desa, dalam pasal 103 telah diatur pula kewenagan desa adat dalam penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah. Penyenggaraan sidang perdamaian peradilan desa adat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adanya ketentuan ini, menjadi penguat bagi prosuk hukum Aceh bagi qanun maupun SKB, dan peraturan gubernur Aceh yang telah lahir sebelumnya.
Kearifan lokal masyarakat gampong Aceh dalam penyelesaian sengketa
telah dikukuhkan secara tegas dalam qanun Aceh no.9 tahun 2008 tentang
pembinaaan kehidupan adat dan istiadat dalam pasal 13 qanun tersebut jelas
disebutkan terdapat 18 jenis sengketa yang dapat diselesaikan secara adat :
a.
Perselisihan dalam rumah tangga.
b.
Sengketa antara keluarga yang
berkaitan.
c.
Perselisihan antar warga.
d.
Khalwat meuseum.
e.
Penyelisihan antar hak milik.
f.
Pencurian dalam keluarga( ringan ).
g.
Perselisihan harta seharkat.
h.
Pencurian ringan.
i.
Perncurian ternak peliharaan.
j.
Pelanggran adat tentang ternak,
petani, dan hutan
k.
Persengketaan di laut.
l.
Persengketaan di pasar.
m.
Penganiayaan ringan.
n.
Pembakaran hutan ( dalam sekala
kecil yang merugikan komunitas adat )
o.
Pelecehan, fitnah, hasut, pencemaran
nama baik.
p.
Pencemaran lingkungan ( ringan ).
q.
Ancam mengancam ( teragntung jenis
ancaman ).
r.
Perselisihan lainnya yang melanggar
adat dan adat istiadat.
Ada beberapa contoh aturan hukum adat khususnya bagian yang
mengatur pembagian sengketa beserta sanksinya :
a.
Sanksi bagi pesawah yang tidak
mengerjakan sawahnya, ditegur 3 kali berturut-turut oleh keujerun blang, peutua
blang, peutuwa siploh, pimpinan adat, kepala mukim, jika tidak diindahkan maka
akan diambil tindakan untuk diambil alih sawah tersebut dan diberikan kepada
orang lain dengan tidak membayar sewa 1 tahun.
b.
Ternak yang keluar kandangnya dan
memakan padi yang belum disiangi pada siang hari, pengembala wajib memabyar
denda 2/3 ongkos menyiangnya. Kalau sudah disiangi bayar ½ dari hasil panen.
Kalau padinya sudah masak wajib bayar 2/3 dari hasil panen. Jika ternak memakan
padi yang belum disiangi pada malam hari wajib membayar ¾ dari ongkos
menyianginya. Kalu sudah disiangi bayar 2/3 dari hasil panen. Kalau padinya
sudah masak wajib membayar 100% DARI DASIL PANEN. Tetapi apabila ternak memakan
tanaman rakyat pada waktu siang pengembala tidak dikenakan sanksi sebab, kerbau
berkandang malam, kebun berpagar siang. Cara untuk membuktikan kejadiannya
dengan: pada siang hari disaksikan oleh tetangga langsung, malam hari cukup
diberikan cap pada bagian tanaman yang telah dirusak.
c.
Bagi orang yang melakukan perzinahan
jika kedua pihak bisa dinikahkan maka dikenakan sanksi 1 ekor kambing ditambah
dengan uang kontan yang dilakukan oleh adat, kemudian di nikahkan menurut
persyaratan adat. Jika sebaliknya kedua belah pihak dikenakan sanksi 1 ekor
kerbau dan dipisahkan/diasingkan paling kurang selama 1 tahun.[12]
Dalam pasal qanun Aceh no.9 tahun 2008 mengenai jenis-jenis sanksi
yang dapat dijatuhkan dalam penyelesaian sengketa adat meliputi :
a .
Nasehat dan teguran.
b.
Permintaan maaf, yang disampaikan
oleh pelaku jika pihak yang tidak bersalah memaafkan maka persengketaan
selesai.
c.
Sayam ( mendamaikan ), pidana yang
dikenakan sayam biasanya persengketaan yang tidak mengeluarkan pertumpahan
darah, seperti perkelahian. Sanksinya adalah membayar diyat.
d.
Diat, pidana yang dikenakan diayat
adalah persengketaan yang berkaitan dengan nyawa/anggota badan yang
mengakibatkan kehilangan nyawa. Sanksi ini diperuntukkan karena membunuh atau
melukai seseorang.
e.
Denda, pengenaan denda biasanya
diberikan kepada pelaku khalwat. Denda yang dikenakan memotong seekor kambing,
selain itu juga akan dikenakan sanksi berlapis, seperti diasingkanbahakan
dicabut KTP sebagai anggota masyarakat.
f .
Ganti rugi yang biasanya dikenkan
kepada pelaku pencurianringan, seperti : pencuri buah, merusak tanaman orang
lain.
g.
Pengasingan, hukuman ini dijatuhkan
kepada penduduk yang telah mengotori/merusak nama baik kampung, seperti zina,
khalwat.[13]
C.
Eksistensi
Keberadaan Lembaga Adat Di Aceh
Pembudidayaan
adat di Aceh masih terlihat dikalangan masayrakt Aceh, trelebih lagi masih
terjalankannya fungsi lembaga adat di gampong gampong tertentu. Namun eksistensi
ini tidak sebagus di daerah perkotaan, kebanyakan dari penduduk kota sudah
mulai terkikis adatnya dan peraburan budaya dan adat kerena perkembangan zaman
ada pula penduduk yang sudang mengurang rasa menjaga dan melestarikan adatnya
sendiri. Beda halnya dengan pelaksanaan adat yang di pendesaan. Mereka masiah
menjunjung tinggi adat istiadat. Adapun beberapa adat istiadat yang masih eksis
dikalangan masyarakat seperti, peusijuk, prosesi acara perkawinan ( cah roet,
meulake oleh seulangke, meugatib, dll ), boh kaca, preuh/intat linto dan dara
baroe, keunduri blang, dan sebagainya.
a.
Peusijuk.
Upacara peusijuk yang sering dilakukan oleh masyarakat Aceh adalah
pemaknaan simbol-simbol kehidupan pada moment keadaan yang menunjukkan
kekhidmatan, karena suatau kesyukuranyang mengembirakan dan membangun kehidupan
silaturrahmi antar keluarga sebagai refleksi rasa syukur kepada Allah. Namun
peusijuk juga dilakukan pada momen keadaan untuk melepaskan diri dari
kemalangan yang mempengaruhi spirit kehidupan sehingga memerlukan kebersamaan
untuk mendapatkan kekhidmatan dengan memanjatkan doa mengharap pertolongan.
Inti dari peusijuk adalah mengharap doa bersama dari segenap hadirin dan
hadirat semoga mendapatkan perlindungan Allah.
Tata cara peusijuk dilakukan dengan tertib, yaitu : a. Menaburkan
padi. b. Menaburkan air tepung tawar. c. Menyunting nasi ketan pada telinga
sebelah kanan dan terkhir pemberian uang( teumuetuek). Perlengkapan alat
peusijuk terdiri dari : talam stu buah, breuh padee satu mangkok, bu leukat
satu piring besar bersama tumpoe/kelapa merah, teupong taweu dan
air, oun sineujuk, on manek mano, on naleung samboo, gloek ie, dan sangee.
Peusijuk di Aceh dianggap suatu tradisi yang mesti dilaksanakan.namun beberapa
kelompok masyarakat sudah mulai meninggalkan peusijuk ini karena pengaruh dari
kalangan reformis yaitu muhammadiah yang ajaran utama pembersihan ajaran islam
dari sinkretisme, yaitu konsep yang mengandung budaya. Gerakan ini diterima dan
banyak terdaapt diperkotaan. Adapun adat peusijuk yang dilakukan dalam budya
aceh antara lain :
a.
Peusijuk
seumanoe dara baroe( persiapan menuju acra pernikahan)
b.
Peusijuk boh
gaca dara broe.
c.
Pesijuk dalam acara perkawinan ( intat
dara baroe dan tung dara baroe ), acara persandingan sekaligus persuntingan
dan penyerahanseuneumah (penyerahan)benda atau uang kepada linto atau dara
baroe sesuai dengan tata cara adat masing-masing daerah.
d.
Peusijuk acara sunatan
e.
Peusijuk rumah baru.
f.
Peusijuk sebelum pergi meurantau,
dll.
b.
Prosesi acara perkawinan.
Dalam memasuki acara perkawinansuatu pasangan suami istri melalui
suatu proses adat yaitu :
a.
Cah roet, melakukan pendekatan antar keluargabaik langsung maupun melalui
pihak yang diperacya.
b.
Meulake oleh
seulangke, suatu proses melakukan
peminanganoleh pihak keluargacalon lintoekepada pihak dara baroe ( keterlibatan
petua-petua adat gampong setempat ) saat itu membawa ranup sebagai pengikat dua
pembelai.
c.
Meugatib, proses aqad nikahsesuai dengan ajaran islam, dan lain sebagainya.
d.
Woe sikureng
dan woe tujoh, pihak linto tinggal dirumah daraa
baroe setelah hari pelaminan, namun harus selang semalam, setelah itu linto
diantar oleh berapa orang untuk woe sikureng. Woe tujuh lintoh
diantar oleh berapa oorang pada malam berikutnya.
Selain eksis dibidang bebrapa adat, rakyat Aceh juga masih
mengimplementasikan beberapa hukum adat bagi para pelaku sengketa. Seperti
halnya membayar diyat, sayam, suloh, pengusiran dari gampong, dan lainnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ø Masyarakat Aceh dikenal dengan masyarakat yang memiliki budaya yang khas dan mengakar sejak
masa pemerintahan kerajaan, masa penjajahan sampai sekarang. Setiap adat yang
dijalankan adalah adat yang selaras dengan islam, adat hanya bisa diberlakukan
apabila tidak bertentangan dengan agama islam. Untuk menjaga dan melestarikan
adat tersebut maka dibentuklah lembaga-lembaga adat.Dalam undang-undang
pemerintah Aceh ( BAB XIII pasal 98 ayat 1 dan 2) dijelaskan bahwa lembaga adat
berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam
penyelenggraan pemerintah Aceh dan Kab/Kota dibidang keamanan, keteraturan,
ketentraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat. Lembaga adat sebagaiman yang
dimaksud dalam ayat 1 dan 2 meliputi:
·
Majlis Adat Aceh ( MAA)
·
Imueum Mukim
·
Imum Chik
·
Geuchik
·
Tuha Pheut
·
Tuha Lapan
·
Imum Meunasah
·
Keujreun Blang
·
Panglima Laot
·
Panglima Glee
·
Peutuwa Sineubok
·
Hari Peukan
·
Syahbanda
Peran Lembaga
Adat Dalam Penerapan Syariat Islam.
· Sebagai lembaga yang menyelesaikan sengketa dan permasalahan dalam
masyarakat.
· Sebagai media sosialisasi syariat..
· Sebagai lembaga pengontrol sosial
Ø Bagi masyarakat adat gampong, kekeluargaan merupakan prinsip utama
dalam masyarakat peradilan adat Aceh. Ketika persoalan dan peristiwa hukum
terjadi dalam masyarakat, selalu diupayakan penyelasaiannya dengan cara
kekeluargaan dan mengutamakan prinsip keikhlasan antar sesama meraka. Penyelesaian
sengketa/ perselisihan dengan hukum adat merupakan perbuatan baik dan mulia
kedudukannya bagi secara hidup bersama baik secara hidup bersama di dunia
maupun disisi Allah, karena hukum adat dengan hukum islam sangat erat
hubungannya. Asas-asas yang terdapat dalam hukum adat Aceh merupakan ajaran
dalam islam. Dengan demikian jelas bahwa penyelesaian sengketa/perselisihan
secara adat tidak bertentangan dengan agama islam yang mereka anut yang
menganjurkan perdamaian. Dalam pasal qanun Aceh no.9 tahun 2008 mengenai
jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan dalam penyelesaian sengketa adat
meliputi : nasehat dan teguran, permintaan maaf, sayam ( mendamaikan ), diat, denda,
ganti rugi, pengasingan.
Ø Pembudidayaan adat di aceh masih terlihat dikalangan masayrakt
aceh, trelebih lagi masih terjalankannya fungsi lembaga adat di gampong gampong
tertentu. Namun eksistensi ini tidak sebagus di daerah perkotaan, kebanyakan
dari penduduk kotasudah mulai terkikis adatnya dan peraburan budaya dan adat
kerena perkembangan zaman ada pula penduduk yang sudang mengurang rasa memjaga
dan melestarikan adatnya sendiri. Beda halnya dengan pelaksanaan adat yang di
pendesaan. Mereka masiah menjunjung tinggi adat istiadat. Adapun beberapa adat
istiadat yang masih eksis dikalangan masyarakat seperti, peusijuk, prosesi
acara perkawinan ( cah roet, meulake oleh seulangke, meugatib, dll ), boh kaca,
preuh/intat linto dan dara baroe, keunduri blang, dan sebagainya.
[2] Badruzzaman
Ismail, Fungsi Menasah Sebgai Lembaga Hukum (Banda Aceh: MAA, 2009).,
Hlm. 146.
[3]
Badruzzaman
Ismail, Dasar Dasar Hukum Pelaksanaan Adat Dan Adat Istiadat Di Aceh
(Banda Aceh, MAA, 2009),. Hlm. 191.
[4]
Badruzzaman
Ismail, Dasar Dasar Hukum Pelaksanaan Adat Dan Adat Istiadat Di Aceh
(Banda Aceh, MAA, 2009),.Hlm. 14
[6]
Ibid,. Hlm. 19.
[7]
Syamsul Rizal, Dinamika
Sosial Keagamaan Dalam Penerapan Syariat Islam (Aceh: Perpustakaan
Nasional,2007),. Hlm.119.
[8]
Rusjdi Ali
Muhammad, Kearifan Tradisional Lokal: Penerapan Syariat Islam Dalam Hukum Adat
Aceh(Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh2011),. Hlm.37.
[11] Ibid., Hlm. 37.
[13]
Badruzzaman
Ismail, Dasar Dasar Hukum Pelaksanaan Adat Dan Adat Istiadat Di Aceh
(Banda Aceh, MAA, 2009),. Hlm. 189.
Labels:
MAKALAH
Thanks for reading Makalah Lembaga Adat Aceh dan Perannya Dalam Penegakan Syariat Islam di Aceh. Please share...!
1 Comment for "Makalah Lembaga Adat Aceh dan Perannya Dalam Penegakan Syariat Islam di Aceh"
Masya Allah sangat membantu:)