Makalah Lembaga Adat Aceh dan Perannya Dalam Penegakan Syariat Islam di Aceh

BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Sejarah Aceh telah memperlihatkan adanya dinamika hubungan antara pranata sosial masyarakat dengan syariat islam serta adat istiadat dan hukum positif yang menjadi aturan langsung yang mengikat. Syariat islam telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Aceh,
Pelaksanaan syariat islam di Aceh merupakan buah perjuangan panjang para pejuang syariat yang melalui masa yang panjang bahkan nyaris terputus ditengah jalan. Maka sudah sepantasnya masyarakat Aceh bersyukur kepada Allah SWT atas nikmat ini, bentuk syukurnya pun tidak hanya sebatas bersujud syukur tetapi juga harus mempergunakan kesempatan ini dengan semaksimal mungkin.
Pengimplementasian syariat islam di Aceh tidak lepas dari peran lembaga-lembaga adat yang ada diberbagian tingkatan komunitas masyarakat. Lembaga-lembaga adat tersebut memiliki otoritas yang cukup luas terhadap pelaksanaan hukum dari berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. hukum hukum yang berlaku sebelum disahkan pemberlakuan syariat islam dalam banyak hal merujuk kepada hukum yang terbentuk dalam masyarakat sejak dahulu. Hukum hukum tersebut dilaksanakan oleh lembaga-lembaga yang terdapat dan diakui oleh masyarakat sebagai salah satu sumber rujukan pelaksanaan hukum dalam berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat setempat. Maka dari itu dalam makalah ini penulis akan menejelaskan tentang lembaga–lembaga adat baik dari segi sejarah, tingkatan, adat yang terdapat didalamnya, sanksi adat, maupun eksistensi keberadaaanya.
B.            Rumusan Masalah
a.    Bagaimana penerapan adat diaceh sehingga lembaga-lembaga adat aceh memiliki peran dalam penegakan syariat di aceh ?
b.    Hukum dan sanksi adat apa saja yang terdapat di dalam lingkungan masyarakat Aceh ?
c.    Bagaimana eksistensi keberdaaan lembaga-lembaga adat Aceh ?





BAB II
PEMBAHASAN

A.           Lembaga Adat Aceh Dan Perannya Dalam Penegakan Syariat Di Aceh

Istilah adat istiadat sebagai satuan  perbuatan yang lazim dituruti dan dilakukan sebgai suatu kebiasaan sejak dahulu. Wujud kebiasaan merupakan ekspressi yang terdiri dari nilai budaya, norma, hukum dan aturan-aturan yang satu dengan yang lainnya.dalam kehidupanmasyarakat aceh pemahaman istilah adat dengan hukum adat hanya bisa dirasakan dalam pelaksanaannya, tapi tidak memiliki perbedaan dalam tulisan dan sebutannya. Maka oleh karena itu, adat bisa dikatakan sebagai kebiasaan-kebiasaaan yang umumnya bersifat serimonial upacara-upacara yang memberikan makna dengan simbol-simbol tertentu untuk menggambarkan kondisi atau harapan dalm bentuk kehidupan yang menjadi tujuan dan harapan masyarakat sekitarnya.

Adat merupakan pencerminan dari suatu bangsa,  sebagai salah satu penjelmaaan dari pada jiwa bangsa  yang bersangkutan dari abad ke-abad. Perkembangan  kehidupan dan peradaban modern belum mampu  menghilangkan adat kebiasaan hidup yang berkembang  dalam masyrakat. Perkembangan adat istiadat itu  sendiri hanya dapat berproses melakukan penyesuaian  dengan keadaan dan kehendak alam. Misalnya, adat  istiadat indonesia tercermin dalam bhinneka tunggal ika walaupun berbeda suku, agama,ras, daerah tetapi tetap satu, yaitu atas dasar bentuk dan sifat indoensia yang satu.
Adat istiadat yang hidup dikembangkan sebagai tradisi rakyat. Inilah yang kemudian berkembang menjadi dasar-dasar bagi hukum adat. Misalnya adat istiadat masyarakat Aceh “ peusijuk” yang sering dipraktekan dalam upacara perkawinan, keluarga dan lainnya. Jika dilihat dari segi pengertian adat yang justru menjadi perilaku terdapat dalam tatanan kehidupan masyarakat sedangkan hukum adat tercermin dari keteraturan, ketertiban, dan kepatuhan karena memiliki norma-norma kaedah tatanan sehingga bila terjadi pelanggaran maka akan diberikan sanksi-sanksi yang sangat tegas serta berwibawa. Adapun persamaan antara adat dengan hukum adat adalah keduanya merupakan satuan prilaku yang terdapat dalam tatanan kehidupan masyarakat. Sedangkan perbedaan terletak pada penerapan sanksi bila melakukan pelanggaran.[1]

Adat istiadat menurut realitas sosiologi kehidupan masyarakat Aceh dapat dirumuskan dalam dua bentuk :
a.       Adat sebagai adat kebiasaan
Suatu reusam yang dapat melahirkan aneka apresiasi, upacara, seni, etika, modifikasi pakaian dan makanan dan ornemen-oenemen spesifik lainnya yang umumnya mengandung nilai komersial untuk dipasarkan.
b.      Adat sebgai norma/kaedah hukum.
Dalam sistem penyelesaian persengketaan dalam masyrakat gampong dan mukim, melalui lembaga penegakan hukum adat yang didalamnya mengandung sanksi.[2]

Setiap masyarakat yang hidup dalam keteraturan, tertib dan rukun damai adalah masyarakat berbudaya. Kehidupan budaya masyarakat memiliki sisitem hukum yang berlaku bagi kelompoknya. Setiap masyarakat mempunyai tatanan hidupnya sendiri, dan sistem hukum sendiri. Hukum adat adalah salah satu tata hukum diantara bermacam-macam tata hukum di dunia. Dalam masyarakat aceh dikenal 4 sumber hukum adat :
1.    Adatullah, hukum adat yang hampir mutlak didasarkan pada hukum Allah ( bersumber pada Al-quran dan Hadis ).
2.    Adat Tunnah, adat istiadat sebgai manifestasi dari qanun dan reusam yang mengatur kehidupan masyrakat.
3.    Adat Muhakamah, hukum adat yang dimanifestasikan dari musyawarah dan mufakat yang dilakukan.
4.    Adat Jahiliyah, adat kebiasaan masyarakat kadang-kadang tidak sesuai dengan jaaran islam, namun masih digemari pleh sebagian masyarakat kecil.
Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum dibawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh imuem mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung dibawah kepemimpinan camat. Sedangkan gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada dibawah mukim dan dipimpin oleh Geuchik yang berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.[3]

a.              Legalitas  lembaga-lembaga adat Aceh
Masyarakat Aceh dikenal dengan masyarakat yang  memiliki budaya yang khas dan mengakar sejak masa pemerintahan kerajaan, masa penjajahan sampai sekarang. Setiap adat yang dijalankan adalah adat yang selaras dengan islam, adat hanya bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan agama islam. Untuk menjaga dan melestarikan adat tersebut maka dibentuklah lembaga-lembaga adat.
Dalam undang-undang pemerintah Aceh ( BAB XIII pasal 98 ayat 1 dan 2) dijelaskan bahwa lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggraan pemerintah Aceh dan Kab/Kota dibidang keamanan, keteraturan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat. Lembaga adat sebagaiman yang dimaksud dalam ayat 1 dan 2 meliputi:
       ·         Majlis Adat Aceh ( MAA)
Memiliki tugas memabantu wali naggroe dalam membina, mengkodinir lembaga-lembaga adat sebagaimana di maksud dalam pasal 2 ayat 2 huruf b samapai huruf m.
Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana di maksud pada ayat 1 di bentuk susunan organisasi dan tata kerja majelis adat Aceh sebagai mana di atur dalam Qanun Aceh.
       
        ·         Imueum Mukim
Imueum Mukim atau nama lain bertugas:
a.       Melakukan pembinaan masyarakat
b.      Melaksanakan kegiatan adat istiadat
c.       Menyelesaikan sengketa
d.      Membantu peningkatan pelaksanaan syariat islam
e.       Membantu penyelenggaraan pemerintahan
f.        Membantu pelaksanaan pembangunan.
          
         ·         Imum Chik
Imum chik atau nama lain bertugas:
a.  Mengkoordinasikan pelaksanaan keagamaan dan peningkatan peribadatan serta pelaksanaan syariat islam dalam kehidupan masyarakat.
b.      Mengurus, menyelenggarakan dan memimpin seluruh kegiatan yang berkenaan dengan pemeliharaan dan kemakmuran masjid.
c.       Menjaga dan memelihara niali-nilai adat, agar tidak bertentangan dengan syariat islam.
       
          ·         Geuchik
a.       Membina kehidupan beragaman dan pelaksaan islam dalam masyarakat
b.      Menjaga dan memelihara adat dan istiadat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat
c.       Memimpin penyelenggaraan pemerintahan gampong
d.      Mengerakkan dan mendorong partisipasi masyarakat dalam membangun gampong
e.       Membina dan memajukan perekonomian masyarakat
f.        Memelihara pelestarian fungsi lingkungan hidup
g.      Memelihara keamanan, ketentraman dan ketertiban serta mencegah perbuatan masyarakat
h.      Mengajukan rancangan qanun gampong kepada tuha peut gampong atau nama lain untuk mendapatkan persetujuan
i.        Mengajukan rancangan anggaran pendapatan belanja gampong kepada tuha peut gampong atau nama lain untuk mendapatkan persetujuan
j.        Memimpin dan menyelesaikan masalah-masalah sosial pemasyarakatan
k.      Menjadi pendamai terhadap perselisihan antar penduduk dalam gampong
         
          ·         Tuha Pheut
a.       Membahas dan menyetujui anggaran pendapatan belanja gampong
b.      Membahas dan menyetujui Qanun gampong
c.       Mengawasi pelaksanaan pemerintah gampong
d.      Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahn dan pembangunan gampong
e.       Merumuskan kebijakan gampong bersama keuchik
f.        Memberi nasehat dan pendapat kepada geuchik.
g.      Menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat bersama pemangku adat.

        Sebuah institusi budaya gampongyang berfungsi memberi nasehat kepada geuchik dalam berbgai bidang kebutuhan masyarakat, terutama dalam bidang mausyawarah gampong. Tuha pheut terdiri dari 4 orang tokoh yaitu, ulama,tokoh adat, tokoh mayarakat, tokoh pemerintahan tatanan gampong. Tuha pheut dipilih langsung oleh rakyat.

  •      Tuha Lapan
a.       Pada tingkat gampong atau mukim dapat di bentuk tuha lapan atau nama lain sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat
b.      Tuha lapan atau nama lain dipilih melalui musyawarah gampong atau musyawarah mukim
c.       Tuha lapan atau nama lain beranggotakan unsur tuha peut atau beberapa orang mewakili bidang keahlian sesuai kebutuhan gampong atau mukim
d.      Pengangkatan dan pemberhentian tuha lapan dan fungsinya di tetapkan dalam musyawarah gampong atau mukim

            ·         Imum Meunasah
a.       Memimpin, memgkoordinasikan kegiatan peribadatan, pendidikan serta pelakasaan syariat islam dalam kehidupan masyarakat
b.      Mengurus, menyelenggarakan dan memimpin seluruh kegiatan yang berkenaan dengan peme;iharaan dan kemakmuran meunasah
c.       Memberi nasehat dan pendapat kepada geuchik
d.      Meneyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat bersama pemanggku adat
e.       Menjaga dan memelihara nilai-nilai adat agar tidak bertentangan dengan syariat islam
              ·         Keujreun Blang
Perangkat lembaga adat dibidang pertanian yang berhubungan dengan sistem penggairan sawah dan hal-hal yang berhubungan dengan sengketa yang berkaitan dengannya. Adapun tugas-tugasnya meliputi :
a.       Menentukan dan mengkoordinasikan tata cara turun ke sawah
b.      Mengatur membagian air ke sawah petani
c.       Membantu pemerintahan dalam bidang pertanian
d.      Memngkoordinasikan kenduri atau upacara lain nya yang berkaitan dengan adat dalam usaha pertanian sawah
e.       Memberi teguran atau sanksi kepada petani yang melanggar aturan-aturan adat bersawah atau tidak melaksanakan kewajiban lain dalam sistem pelaksanaan pertanian sawah secara adat
f.        Meneyelesaikan sengketa antar petani yang berkaitan pelaksanaan usaha pertanian di sawah.
         Panglima Laot
Pejabat adat yang bertanggung jawabatas segala ihwal yang berhubungan denganpermasalahan pencarian rezeki di laut.
         Panglima Glee
Pejabat adat yang bertanggung jawabatas segala ihwal yang berhubungan dengan pengelolaan sumber kehidupandi wilayah gunung, termasuk pembinaan danpemeliharaan lingkungan.
         Peutuwa Sineubok
         Hari Peukan
Pejabat adat yang bertanggung jawab mengatur pembinaaaan ketertiban pasarsebagai sentral ekonomirakyat.
         Syahbanda
Pejabat adat yang bertanggung jawabatas urusan kapal/perahu dipelabuhan/hulu sungai dan lainnya.[4]

       Adapun tokoh-tokoh di lembaga adat ditingkat gampong meliputi: Geuchik, tuha pheut, tuha lapan, sekretaris gampong dan kepala dusun. Sedangkan tokoh tlembaga ditingkat mukim ( kab/kota ) meliputi : Imuem mukim, imuem chik, tuha pheut mukim, dan sekretaris mukim. Serta tokoh dibidang ekonomi rakyat meliputi : keujerun blang,panglima laot, peutuwa sinebok, pawang uteun, pawang glee, harya peukan, syahbanda.[5]
a.              Fungsionalis-fungsionalis dalam masyarakat

Fungsionalis hukum adalah para tokoh, pimpinan, ketua/petua-petua adat, pandai memberikan pemahaman, berwibawa, berwenang memberikan saran dan berwenang menjalankan keputusan-keputusan musyawarah. Dalam masyrakat terdapat fungsionis sebagai fungsional yang berperan dalam memimpin masyarakat baik sebgai tokoh adat/ketua-ketua adat. Misalnya di Aceh adanya Geuchik yang dulunya disebut Ulee Balang/penguasa adat, pimpinan masyrakat ‘Tengku” yang mengurus bidang agama dalam masyarakat. Tuah Pheut dan Tuha Laphan sebagai penasehat pimpinan gampong. Seorang Geuchik dalam masyarakat Aceh harus mengembangkan 3 fungsi :

a.    Legislatif /membuat perturan adat. Geuchik untuk menetapkan sebuah hukum mengadakan musyawarah, tugas-tugas pembinaan danpengawasan yang berkenaan dengan tatanan masyrakat.
b.    Eksekutif/ melaksanakan peraturan adat. Fungsi legislatif yang berfungsi pada dewan musyawarah Gampong, yaitu Geuchik, Imam, Tuha Pheut dan Tuha Laphan untuk memberikan keputusan-keputusan hukum.
c.    Yudikatif/menegakkan aturan/ mengawasi peraturan. Fungsi ini melekat pada musyawarah/rapat paripurna gampong melalui seluruh perangkat gampong yang bersivat evaluasi dan pengawasan[6]

Dalam hubungan pelaksanaan diberbagai kebijakan dalam syariat islam, perda no.7 tahun 2000 tentang penyelenggaraan adat telah memberikan wewenang kepada lembaga adat, khususnya  Imuem Mukim, Geuchik, Tengku Imuem, Tuha Pheut dan Tuha Lapan dalam menerapkan kebijakan yang berkaitan dengan syariat islam. Lebih dari itu lembaga adat diberikan kewenangan untuk memberikan dan menetapkan sanksi terhadap sengketa/ pelanggaran yang terjadi digampong mereka masing-masing.[7]

b.             Peran Lembaga Adat Dalam Penerapan Syariat Islam.
·      Sebagai lembaga yang menyelesaikan sengketa dan permasalahan dalam masyarakat.
Penyelesaian setiap sengketa yang terjadi dapat dilakukan secara bertahap, terlebih dahulu dengan cara damai melalui musyawarah pada tingkat gampong yang melibatkan Tuha Peut, Tuha Lapan, Geuchik. Jika pada tingkat gampong tidak bisa diselesaikan maka akan dialihkan kepada tingkan kemukiman. Pada tingkat kemukiman penyelesaian perkara dipimpin oleh Imuem Mukim yang melibatkan tokoh adat ditingkat mukim. Adapun kategori perkara yang diselesaikan diantaranya masalah yang timbul di bidang persawahan di mediasi oleh Keujeruen Blang, masalah laut oleh panglima laot, masalah hutan oleh Panglima Uteun, masalah pasar oleh Haria Peukan. Semunya dikoordinasikan terlebih dahulu kepada Geuchik sebagai ketua gampong.
·      Sebagai media sosialisasi syariat.
Lembaga adat sebgai salah satu bentuk dari pranata sosial dapat menjadi ujung tombak yang berada digrada depan mensosoalisasikan hal-hal yang berkaitan dengan syariat islam yang dapt dimulai dari lembaga adat tingkat gampong. Seperti halnya menasah dan mesjid sebenarnya keduanya merupakan sumber energi budaya aceh, karena fungsinya bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga dijadikan tempat untuk pelaksanaan berbagai kegiatan sosial, pendidikan, budaya bahkan politik.
·      Sebagai lembaga pengontrol sosial
Dalam konteks ini, lembaga adat menjadi pengugat bagi masyarakat untuk melestarikan nilai-nilai budaya yang asli yang bersifat agamis. Jika sebuah masyarakat mempunyai sistem sosial yang kuat, maka secara otomatis kontrol sosial akan berjalan dengan baik. Masyarakat akan mematuhi norma-norma sosial sebagaimana mereka mematuhi norma hukum dan begitupun sebaliknya.

Bagi masyarakat Aceh agama dan adat merupakan penopang pranata sosial dengan motto “ adat meukoh reubong, hukoem meukoh purieh. Adat jeut beurangoe ta kong, hukoem hanjeut beurango ta kieh ( adat bagia memotong rebong, gampang tumbuh lagi.tetapi hukum bagai memotong bambu tua, sekali potong tidak akan tumbuh lagi. Adat boleh disampingi, tetapi hukum tak mudah dikiaskan begitu saja).” Hukoem menyoe hana adat tabeu, adat menyoe hana hukoem bateu”.
Dari dua pepatah diatas dapat mencerminkan bagiamana persepsi masyarakat Aceh dalam menempatkan posisi agama dan adat. Adat merupakan seperangkat nilai, norma kehidupan dan keyakinan sosial yang tumbuh dan berakar dalam kehidupan masyarakat. Pada tataran praktis, pranata adat dan agama di Aceh berkaitan dengan kelindah dan berjalan seiring dengan saling memperkuat satu sama lainnya. Namun tetap memiliki nuansanya sendiri.[8]
Segala hal yang berkaitan dengan peradilan adat gampong atau mukim ( dapat diselesaikan di gampong/mukim), sepanjang bentuk kasus persengketaaan/ pelanggaran, yang terjadi dalam masyarakat, sebagaimana ditentukan dalam qanun no.9 tahun 2008, pasal 13 sebagai berikut, Sengketa/perselisahan adat meliputi :

   
      a.       Perselisihan dalam rumah tangga.
b.      Sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraid
c.       Perselisihan antar warga.
d.      Khalwat meusum.
e.       Perselisihan tentang hak milik.
f.        Pencurian dalam keluarga( pencurian ringan )
g.      Perselisihan harta seharkat
h.      Pencurian ringan.
 i.        Pencurian ternak peliharaan
  j.        Pelangaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan.
       k.      Persengketaan di laot. 
 l.        Persengketaan di pasar.
m.    Menganiaya ringan.
 n.      Pembakaran hutan ( dalam sekala kecil yang merugikan komunitas adat)
 o.      Pelecehan,fitnah, hasut dan pencemaran nama baik.
 p.      Pencenmaran lingkungan ( skala ringan)
 q.      Ancam mengancam ( tergantung dari jenis ancaman )
  r.        Perselisihan lain yang melanggar adat istiadat.[9]
  a .       Sebagai institusi membudayakan hukum.

B.            Hukum Adat Dan Sanksi-Sanksi Terhadapnya.

Dalam tatanan kehidupan masyarakat adat memiliki budaya perilaku yang bersifat seremonial/upacara-upacara dan ada yang mengandung ancaman dan sanksi. Meskipun demikian dalam setiap tatanan kehidupan yang mengandung sanksi masyarakat tidak menyebutkannya “ hukum adat” tetapi tetap menyebutkannya “ adat”. Maka bisa disimpulakan hukum adat merupakan aturan tingkah laku yang bersanksi dan hidup berkembang sebagai tatanan masyarakat serta dipatuhi dengan kesadaran dan tanggung jawaban menjadi pedoman hukum dimana fungsionaris hukum berperan didalamnya dan materi hukumnya tidak dikodifikasikan.[10]

Dalam masyarakat Aceh ada suatu ungkapan bijak / marid maja,yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa/perselisihan, yaitu : “Yang ceuko ta peu jeureneuh, yang tabeue ta peu mameh, yang rayeuk ta peu ubeut, yang ubeut ta peu gadoeh, dari pada tameupakeu geut tameu ngoen, tanyoe lage soet dengoen syedara beu le saba dalam hateu,  poe rabbol kadeuh han geupeu decha”.

Maksud dari marid maja diatas adalah sangat penting bagi masyarakat gampong untuk memelihara kerukunan, keharmonisan, kedamaan, dan mewujudkan keadilan. Dalam konteks hukum, “yang rayeuk tapeu ubiet, yang ubit tapeu gadoeh”. Bermakna, permasalahan pelik mesti disederhankan dan permasalahan sederhana mesti dilenyapkan. “Dari pada tameu pake ngeun tameu ngoen., tanyoe lage soet dengan syedara., beule saba dalam hateu., poe rabbol kadeuh han geu peudecha”.

Hidup rukun bagi masyarakat gampong bagaikan hidup satu ayah satu ibu, dan rasa persaudaraan inilah yang selalu tercermin dalam diri warga gampong, sehingga sengketa/perselisihan yang terjadi ditengah-tengah mereka selalu diupayakan diselesaikan dengan hukum adat yang berlaku dalam wilayahnya.

DARI aspek budaya adat Aceh, kesadaran hukum adat dapat dilihat pada fungsi meunasah, dimana ditemukan realita perilaku masyarakat diantaranya :
a.       Tempat bermufakatuntuk berbagai keperluan.
b.      Tempat tidur para pemuda yang belum menikah.
c.       Tempat menginap orang yang kemalaman.
d.      Tempat pembinaan agama dan pendidikan.
e.       Tempat ibadah.[11]

Bagi masyarakat adat gampong, kekeluargaan merupakan prinsip utama dalam masyarakat peradilan adat Aceh. Ketika persoalan dan peristiwa hukum terjadi dalam masyarakat, selalu diupayakan penyelasaiannya dengan cara kekeluargaan dan mengutamakan prinsip keikhlasan antar sesama meraka. Penyelesaian sengketa/ perselisihan dengan hukum adat merupakan perbuatan baik dan mulia kedudukannya bagi secara hidup bersama baik secara hidup bersama di dunia maupun disisi Allah, karena hukum adat dengan hukum islam sangat erat hubungannya. Asas-asas yang terdapat dalam hukum adat Aceh merupakan ajaran dalam islam. Dengan demikian jelas bahwa penyelesaian sengketa/perselisihan secara adat tidak bertentangan dengan agama islam yang mereka anut yang menganjurkan perdamaian.

Mengacu pada uraian diatas, jelaslah bahwa gampong telah memiliki aspek historis dan sosiologis dalam hal penyelesaian sengketa/perselisihan menurut hukum adat. Selain dua aspek diatas (historis dan sosiologis), sekarang secara juridi formal pun penyelesaian sengketa secara adat di gampong telah memiliki payung hukum yang cukup tegas dan kuat, yaitu :
    a.       UU. NO.44. tahun 1999, Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh
b.      UU. NO.11 tahun 2006. Tentang pemerintahan aceh.
c.       UU. NO.6 tahun 2014, Tentang Desa ( pasal 103 )
d.      Qanun NAD NO. 4 tahun 2003, Tentang Pemerintahan Hakim.
e.       Qanun NAD NO. 5 Tahun 2003, Tentang Pememrintahan Gampong.
f.        Qanun Aceh NO.9 Tahun 2008, Tentang Pembinaan Kehidupan Adat Dan Istiadat.
g.      Qanun Aceh no.10 Tahun 2008, Tentang Lembaga Adat.
h.      Peraturan Gubernur Aceh no.25 tahun 2011, Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pemerintah Gampong.
i.        Peraturan Adat Aceh no. 60 tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Adat Dan Istiadat.
j.        Surat Keputusan Bersama ( SKB ) antara gubernur Aceh dengan kepolisian daerah, Aceh dan MAA no. 189/677/2017 tanggal 20 desember 2011 Tentang Penyelenggaran Peradilan Adat Gampong Dan Mukim.

Saat ini dengan berlakunya UU no.6 tahun 2014 tentang desa, dalam pasal 103 telah diatur pula kewenagan desa adat dalam penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah. Penyenggaraan sidang perdamaian peradilan desa adat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adanya ketentuan ini, menjadi penguat bagi prosuk hukum Aceh bagi qanun maupun SKB, dan peraturan gubernur Aceh yang telah lahir sebelumnya.

Kearifan lokal masyarakat gampong Aceh dalam penyelesaian sengketa telah dikukuhkan secara tegas dalam qanun Aceh no.9 tahun 2008 tentang pembinaaan kehidupan adat dan istiadat dalam pasal 13 qanun tersebut jelas disebutkan terdapat 18 jenis sengketa yang dapat diselesaikan secara adat :
a.       Perselisihan dalam rumah tangga.
b.      Sengketa antara keluarga yang berkaitan.
c.       Perselisihan antar warga.
d.      Khalwat meuseum.
e.       Penyelisihan antar hak milik.
f.        Pencurian dalam keluarga( ringan ).
g.      Perselisihan harta seharkat.
h.      Pencurian ringan.
i.        Perncurian ternak peliharaan.
j.        Pelanggran adat tentang ternak, petani, dan hutan
k.      Persengketaan di laut.
l.        Persengketaan di pasar.
m.    Penganiayaan ringan.
n.      Pembakaran hutan ( dalam sekala kecil yang merugikan komunitas adat )
o.      Pelecehan, fitnah, hasut, pencemaran nama baik.
p.      Pencemaran lingkungan ( ringan ).
q.      Ancam mengancam ( teragntung jenis ancaman ).
r.        Perselisihan lainnya yang melanggar adat dan adat istiadat.

Ada beberapa contoh aturan hukum adat khususnya bagian yang mengatur pembagian sengketa beserta sanksinya :
    a.       Sanksi bagi pesawah yang tidak mengerjakan sawahnya, ditegur 3 kali berturut-turut oleh keujerun blang, peutua blang, peutuwa siploh, pimpinan adat, kepala mukim, jika tidak diindahkan maka akan diambil tindakan untuk diambil alih sawah tersebut dan diberikan kepada orang lain dengan tidak membayar sewa 1 tahun.

   b.      Ternak yang keluar kandangnya dan memakan padi yang belum disiangi pada siang hari, pengembala wajib memabyar denda 2/3 ongkos menyiangnya. Kalau sudah disiangi bayar ½ dari hasil panen. Kalau padinya sudah masak wajib bayar 2/3 dari hasil panen. Jika ternak memakan padi yang belum disiangi pada malam hari wajib membayar ¾ dari ongkos menyianginya. Kalu sudah disiangi bayar 2/3 dari hasil panen. Kalau padinya sudah masak wajib membayar 100% DARI DASIL PANEN. Tetapi apabila ternak memakan tanaman rakyat pada waktu siang pengembala tidak dikenakan sanksi sebab, kerbau berkandang malam, kebun berpagar siang. Cara untuk membuktikan kejadiannya dengan: pada siang hari disaksikan oleh tetangga langsung, malam hari cukup diberikan cap pada bagian tanaman yang telah dirusak.

     c.       Bagi orang yang melakukan perzinahan jika kedua pihak bisa dinikahkan maka dikenakan sanksi 1 ekor kambing ditambah dengan uang kontan yang dilakukan oleh adat, kemudian di nikahkan menurut persyaratan adat. Jika sebaliknya kedua belah pihak dikenakan sanksi 1 ekor kerbau dan dipisahkan/diasingkan paling kurang selama 1 tahun.[12]

Dalam pasal qanun Aceh no.9 tahun 2008 mengenai jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan dalam penyelesaian sengketa adat meliputi :
      a .       Nasehat dan teguran.
     b.      Permintaan maaf, yang disampaikan oleh pelaku jika pihak yang tidak bersalah memaafkan maka persengketaan selesai.
   c.       Sayam ( mendamaikan ), pidana yang dikenakan sayam biasanya persengketaan yang tidak mengeluarkan pertumpahan darah, seperti perkelahian. Sanksinya adalah membayar diyat.
    d.      Diat, pidana yang dikenakan diayat adalah persengketaan yang berkaitan dengan nyawa/anggota badan yang mengakibatkan kehilangan nyawa. Sanksi ini diperuntukkan karena membunuh atau melukai seseorang.
   e.       Denda, pengenaan denda biasanya diberikan kepada pelaku khalwat. Denda yang dikenakan memotong seekor kambing, selain itu juga akan dikenakan sanksi berlapis, seperti diasingkanbahakan dicabut KTP sebagai anggota masyarakat.
   f .        Ganti rugi yang biasanya dikenkan kepada pelaku pencurianringan, seperti : pencuri buah, merusak tanaman orang lain.
    g.      Pengasingan, hukuman ini dijatuhkan kepada penduduk yang telah mengotori/merusak nama baik kampung, seperti zina, khalwat.[13]

C.           Eksistensi Keberadaan Lembaga Adat Di Aceh
Pembudidayaan adat di Aceh masih terlihat dikalangan masayrakt Aceh, trelebih lagi masih terjalankannya fungsi lembaga adat di gampong gampong tertentu. Namun eksistensi ini tidak sebagus di daerah perkotaan, kebanyakan dari penduduk kota sudah mulai terkikis adatnya dan peraburan budaya dan adat kerena perkembangan zaman ada pula penduduk yang sudang mengurang rasa menjaga dan melestarikan adatnya sendiri. Beda halnya dengan pelaksanaan adat yang di pendesaan. Mereka masiah menjunjung tinggi adat istiadat. Adapun beberapa adat istiadat yang masih eksis dikalangan masyarakat seperti, peusijuk, prosesi acara perkawinan ( cah roet, meulake oleh seulangke, meugatib, dll ), boh kaca, preuh/intat linto dan dara baroe, keunduri blang, dan sebagainya.
a.       Peusijuk.
Upacara peusijuk yang sering dilakukan oleh masyarakat Aceh adalah pemaknaan simbol-simbol kehidupan pada moment keadaan yang menunjukkan kekhidmatan, karena suatau kesyukuranyang mengembirakan dan membangun kehidupan silaturrahmi antar keluarga sebagai refleksi rasa syukur kepada Allah. Namun peusijuk juga dilakukan pada momen keadaan untuk melepaskan diri dari kemalangan yang mempengaruhi spirit kehidupan sehingga memerlukan kebersamaan untuk mendapatkan kekhidmatan dengan memanjatkan doa mengharap pertolongan. Inti dari peusijuk adalah mengharap doa bersama dari segenap hadirin dan hadirat semoga mendapatkan perlindungan Allah.
Tata cara peusijuk dilakukan dengan tertib, yaitu : a. Menaburkan padi. b. Menaburkan air tepung tawar. c. Menyunting nasi ketan pada telinga sebelah kanan dan terkhir pemberian uang( teumuetuek). Perlengkapan alat peusijuk terdiri dari : talam stu buah, breuh padee satu mangkok, bu leukat satu piring besar bersama tumpoe/kelapa merah, teupong taweu dan air, oun sineujuk, on manek mano, on naleung samboo, gloek ie, dan sangee. Peusijuk di Aceh dianggap suatu tradisi yang mesti dilaksanakan.namun beberapa kelompok masyarakat sudah mulai meninggalkan peusijuk ini karena pengaruh dari kalangan reformis yaitu muhammadiah yang ajaran utama pembersihan ajaran islam dari sinkretisme, yaitu konsep yang mengandung budaya. Gerakan ini diterima dan banyak terdaapt diperkotaan. Adapun adat peusijuk yang dilakukan dalam budya aceh antara lain :
a.       Peusijuk seumanoe dara baroe( persiapan menuju acra pernikahan)
b.      Peusijuk boh gaca dara broe.
c.       Pesijuk dalam acara perkawinan ( intat dara baroe dan tung dara baroe ), acara persandingan sekaligus persuntingan dan penyerahanseuneumah (penyerahan)benda atau uang kepada linto atau dara baroe sesuai dengan tata cara adat masing-masing daerah.
d.      Peusijuk acara sunatan
e.       Peusijuk rumah baru.
f.        Peusijuk sebelum pergi meurantau, dll.
b.      Prosesi acara perkawinan.
Dalam memasuki acara perkawinansuatu pasangan suami istri melalui suatu proses adat yaitu :
a.       Cah roet, melakukan pendekatan antar keluargabaik langsung maupun melalui pihak yang diperacya.
b.      Meulake oleh seulangke, suatu proses melakukan peminanganoleh pihak keluargacalon lintoekepada pihak dara baroe ( keterlibatan petua-petua adat gampong setempat ) saat itu membawa ranup sebagai pengikat dua pembelai.
c.       Meugatib, proses aqad nikahsesuai dengan ajaran islam, dan lain sebagainya.
d.      Woe sikureng dan woe tujoh, pihak linto tinggal dirumah daraa baroe setelah hari pelaminan, namun harus selang semalam, setelah itu linto diantar oleh berapa orang untuk woe sikureng. Woe tujuh lintoh diantar oleh berapa oorang pada malam berikutnya.
Selain eksis dibidang bebrapa adat, rakyat Aceh juga masih mengimplementasikan beberapa hukum adat bagi para pelaku sengketa. Seperti halnya membayar diyat, sayam, suloh, pengusiran dari gampong, dan lainnya.












BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ø Masyarakat Aceh dikenal dengan masyarakat yang  memiliki budaya yang khas dan mengakar sejak masa pemerintahan kerajaan, masa penjajahan sampai sekarang. Setiap adat yang dijalankan adalah adat yang selaras dengan islam, adat hanya bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan agama islam. Untuk menjaga dan melestarikan adat tersebut maka dibentuklah lembaga-lembaga adat.Dalam undang-undang pemerintah Aceh ( BAB XIII pasal 98 ayat 1 dan 2) dijelaskan bahwa lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggraan pemerintah Aceh dan Kab/Kota dibidang keamanan, keteraturan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat. Lembaga adat sebagaiman yang dimaksud dalam ayat 1 dan 2 meliputi:
·         Majlis Adat Aceh ( MAA)
·         Imueum Mukim
·         Imum Chik
·         Geuchik
·         Tuha Pheut
·         Tuha Lapan
·         Imum Meunasah
·         Keujreun Blang
·         Panglima Laot
·         Panglima Glee
·         Peutuwa Sineubok
·         Hari Peukan
·         Syahbanda
Peran Lembaga Adat Dalam Penerapan Syariat Islam.
·      Sebagai lembaga yang menyelesaikan sengketa dan permasalahan dalam masyarakat.
·      Sebagai media sosialisasi syariat..
·      Sebagai lembaga pengontrol sosial

Ø Bagi masyarakat adat gampong, kekeluargaan merupakan prinsip utama dalam masyarakat peradilan adat Aceh. Ketika persoalan dan peristiwa hukum terjadi dalam masyarakat, selalu diupayakan penyelasaiannya dengan cara kekeluargaan dan mengutamakan prinsip keikhlasan antar sesama meraka. Penyelesaian sengketa/ perselisihan dengan hukum adat merupakan perbuatan baik dan mulia kedudukannya bagi secara hidup bersama baik secara hidup bersama di dunia maupun disisi Allah, karena hukum adat dengan hukum islam sangat erat hubungannya. Asas-asas yang terdapat dalam hukum adat Aceh merupakan ajaran dalam islam. Dengan demikian jelas bahwa penyelesaian sengketa/perselisihan secara adat tidak bertentangan dengan agama islam yang mereka anut yang menganjurkan perdamaian. Dalam pasal qanun Aceh no.9 tahun 2008 mengenai jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan dalam penyelesaian sengketa adat meliputi : nasehat dan teguran, permintaan maaf, sayam ( mendamaikan ), diat, denda, ganti rugi, pengasingan.
Ø Pembudidayaan adat di aceh masih terlihat dikalangan masayrakt aceh, trelebih lagi masih terjalankannya fungsi lembaga adat di gampong gampong tertentu. Namun eksistensi ini tidak sebagus di daerah perkotaan, kebanyakan dari penduduk kotasudah mulai terkikis adatnya dan peraburan budaya dan adat kerena perkembangan zaman ada pula penduduk yang sudang mengurang rasa memjaga dan melestarikan adatnya sendiri. Beda halnya dengan pelaksanaan adat yang di pendesaan. Mereka masiah menjunjung tinggi adat istiadat. Adapun beberapa adat istiadat yang masih eksis dikalangan masyarakat seperti, peusijuk, prosesi acara perkawinan ( cah roet, meulake oleh seulangke, meugatib, dll ), boh kaca, preuh/intat linto dan dara baroe, keunduri blang, dan sebagainya.





[1] Ismail Badruzzaman, Asas-Asas Hukum Adat Sebagai Pengantar(Aceh: MAA, 2009),.Hlm. 3.
[2] Badruzzaman Ismail, Fungsi Menasah Sebgai Lembaga Hukum (Banda Aceh: MAA, 2009)., Hlm. 146.
[3] Badruzzaman Ismail, Dasar Dasar Hukum Pelaksanaan Adat Dan Adat Istiadat Di Aceh (Banda Aceh, MAA, 2009),. Hlm. 191.
[4] Badruzzaman Ismail, Dasar Dasar Hukum Pelaksanaan Adat Dan Adat Istiadat Di Aceh (Banda Aceh, MAA, 2009),.Hlm. 14
[5] Ismail Badruzzaman, Asas-Asas Hukum Adat Sebagai Pengantar(Aceh: MAA, 2009),. hlm.
[6] Ibid,. Hlm. 19.
[7] Syamsul Rizal, Dinamika Sosial Keagamaan Dalam Penerapan Syariat Islam (Aceh: Perpustakaan Nasional,2007),. Hlm.119.
[8] Rusjdi Ali Muhammad, Kearifan Tradisional Lokal: Penerapan Syariat Islam Dalam Hukum Adat Aceh(Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh2011),. Hlm.37.
[9][9] Badruzzaman Ismail, Paduan Adat Dalam Masyarakat Aceh( Aceh: MAA. 2009),.Hlm. 27.
[10] Op. Cit. Badruzzzaman Ismail,.Hlm. 17.
[11]  Ibid., Hlm. 37.
[12] Badruzaman Ismail, Op. Cit. Hlm. 94.
[13] Badruzzaman Ismail, Dasar Dasar Hukum Pelaksanaan Adat Dan Adat Istiadat Di Aceh (Banda Aceh, MAA, 2009),. Hlm. 189.





Labels: MAKALAH

Thanks for reading Makalah Lembaga Adat Aceh dan Perannya Dalam Penegakan Syariat Islam di Aceh. Please share...!

1 Comment for "Makalah Lembaga Adat Aceh dan Perannya Dalam Penegakan Syariat Islam di Aceh"

Back To Top