Makalah Ushul Fiqh Metode Istinbath Hukum Islam








BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang

Sumber pokok ajaran islam adalah Al-qur,an dan Al-hadist pada masa rasul. Apabila muncul suatu persoalan yang mengenai hukum baik itu berhubungan denganAllah maupun dengan masyarakat, maka Allah menurunkan ayat untuk menjelaskannya. Rasulullah sebagai pemberi penejelasan kepada umatnya tentang bagaimana ayat yang diturunkan tersebut. Penjelasan tentang Al-qur,an tidak selamanya tegas dan terperinci(tafsili), melainkan banyak juga yang bersifat garis besar(ijmali) dan terkadang rasulullah harus menggunakan akal yang disebut dengan ijtihad.
Permasalahan-permasalahan yang tumbuh dalam masyarakat adakala sudah ditemuakan dalam nashnya yang jelas dalam Al-qur’an dan Al-hadist, tetapi yang ditemukan tersebut merupakan hanya prinsip-prinsip umum. Untuk pemecahan masalah yang baru timbul yang belum ada nash secara jelas, perlu dilakukan istinbath hukum yaitu mengeluarkan hukum-hukum baru terhadap permasalahan yang muncul dalam masyarakat dengan melakukan ijtihad berdasarkan dalil-dalil yang ada didalam Al-qur’an dan Al-hadist.
Dengan jalan istinbath itu maka hukum islam akan senantiasa berkembang seirama dengan terjadinya dinamika perkembangan masyarakat guna mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan dan juga menegakkan ketertiban dalam pergaulan masyarakat serta menjamin hak dan kewajiban masing-masing individu yang berkepintingan secara jelas.
Bagi seseorang yang ingin melakukan ijtihad sebuah hukum, maka ilmu ushul fiqh mutlak diperlukan karena ia merupakan alat atau acuan dalam melakukan istinbanth hukum. Dalam makalah ini akan kami bahas tentang istinbath hukum dan beberapa poin saja yang menganai dengan istinbath hukum, sebab kalau kita bahas semua yang ada dalam metode istinbath hukum maka akan cukup banyak yang perlu dibahas dan memerlukan waktu yang lebih lama.

1.2  Rumusan Masalah
Adapun masalah yang timbul dari latar belakang diatas yang kami ambil antara lain:
1.      Apa pengertian istinbath?
2.      Bagaimana yang dimaksud dengan pendekatan lafadz kepada makna ? yang didalamnya terdapat  mutlaq, muqayyad, al-amr, an-nahy
3.      Bagaimana yang dikatakan dengan:
·                ‘Am/umum dan Khas
·                Al-musytarat
·                Al-muawwal

1.3  Tujuan
Adapun yang menjadi fokus tujuan mempelajari metode istinbath hukum adalah:
1.      Bisa mengetahui definisi dari istinbath hukum.
2.      Supaya mengetahui apa itu mutlaq, muqayyad, al-amr, dan an-nahy
3.      Dapat mengetahui apa itu ‘am/umum, al-musytarat, al-muawwal.





















BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Metode Istinbath Hukum
Istinbath hukum merupakan sebuah cara pengambilan hukum dari sumbernya. Perkataan ini lebih populer disebut dengan metodologi penggalian hukum. Metodologi, menurut seorang ahli dapat diartikan sebagai pembahasan konsep teoritis berbagai metode yang terkait dalam suatu sistem pengetahuan. Jika hukum Islam dipandang sebagai suatu sistem pengetahuan, maka yang dimaksudkan metodologi hukum Islam adalah pembahasan konsep dasar hukum Islam dan bagaimanakah hukum Islam tersebut dikaji dan diformulasikan.[1]
Kata istinbat jika dihubungkan dengan hukum, maka istinbat merupakan suatu upaya penarikan hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah melalui jalan ijtihad. Sedangkan menurut bahasa istinbat adalah mengeluarkan atau menetapkan. Menurut istilah, istinbat adalah upaya mengeluarkan makna-makna dari nash-nash yang terkandung didalamnya dengan cara mengerahkan kemampuan dari potensi naluriyah. Dari nash-nash tersebut menghasilkan dua macam istinbat yaitu yaitu yang berbentuk lafdziyah dan maknawiyah.

1.      Istinbat Lafdziyah
Istinbat lafdziyah dalah mengistinbatkan hukum atau mengambil suatu hukum ditinjau dari segi lafadznya. Ada tiga cara untuk mengetahui makna yang tepat dari suatu lafadz, yaitu:
a. Berdasarkan pengertian banyak orang yang telah mutawattir.
 b. Berdasarkan pengertian orang-orang tertentu.
 c. Berdasarkan hasil pemikiran akal nalar pemikiran suatu lafadz.



2.      Istinbat Maknawiyah
Istinbat maknawiyah adalah mengambil hukum yang ditinjau dari segi maknanya. Sebagaimana dikutip oleh Nasrun Rusli melihat ada dua cara pendekatan yang dikembangkan oleh para pakar dalam melakukan istinbat, yakni melalui kaidah-kaidah kebahasan dan melalui pengenalan maksud syariat.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan istinbat atau ijtihad adalah sebagai berikut:
a.              Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Quran yang      berhubungan dengan masalah hukum.
b.              Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi yang berhubungan dengan masalah hukum.
c.              Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma’,agar dalam menetukan hukum sesuatu tidak bertentangan dengan ijma’.
d.              Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat mempergunakannya untuk istinbat hukum.
e.              Mengetahui ilmu logika, agar dapat menghasilkan kesimpulan yang benar tentang hukum, dan sanggup mempertanggung jawabkannya.
f.               Menguasai bahasa arab secara mendalam karena Al-Qur’an dan Sunnah tersusun dalam bahasa Arab.[2]

Dari penjelasan diatas maka dapat kita simpulkan bahwa ada beberapa metode istinbath hukum yang dijelaskan oleh pakar(fiqh) guna untuk mendapatkan suatu hukum yang baru dengan merujuk hukum dasar yang sudah ada dan guna untuk menjawab persoalan yang ada, disini akan dijelaskan beberapa metode saja yang ada dalam metode istinbath antara lain adalah:
2.2   Pendekatan lafazd kepada makna
Cara penggalian hukum dan nash ada dua macam pendekatan,yaitu pendekatan makna dan pendekatan lafal. Pendekatan makna adalah penarikan kesimpulan hukum bukan kepada nash langsung seperti menggunakan qiyas, istihsan, maslahah mursalah dan lain sebagainya. Sedang pendekatan lafal penerapannya membutuhkan beberapa faktor pendukung yang sangat dibutuhkan yaitu penguasaan terhadapmakna dari lafal-lafal nash serta konotasinya dari segi umum dan khusus dan mengetahui dalalahnya. Didalamnya dibahas tentang mutlaq, muqayyad, amr dan nahy

a.    Mutlaq dan Muqayyad
Mutlaq menurut ushul fiqih adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Misalnya: kata “meja”, “rumah”, “jalan”, kata-kata ini memiliki makna mutlak karena secara makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada pengertian makna tertentu yang telah kita pahami, Beberapa pendapat para ualam tentang mutlak dan muqayyad:
Menurut Khudhari Beik, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi.
Menurut Abu Zahrah, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap maudhu’nya tanpa memandang kepada satu, banyak, atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat  sesuatu menurut apa adanya.
Munurut bahasa yaitu tidak terikat sedangkan muqayyad kebalikan dari mutlak. Sedangkan menurut istilah  adalah suatau kata yang menunjukan suatu materi dengan tanpa ikatan.Mutlaq dan  Muqayad  itu sama dengan ‘am dan Khasa.[3]
Muqayyad didefinsikan juga oleh para ulama ushul yaitu: menurut Syaikh Al-KhudariBeik, Muqayyad ialah lafal yang menunjukan suatu objek (afrad) atau beberapa objek tertentu yang dibatasi oleh lafal tertentu. Sedangkan menurut Zaky Al-Din Sya’ban, muqayyad ialah suatu lafal yang menunjukan atas satu objek atau beberapa objek dan ia telah oleh suatu sifat. Dan menurut Mustafa Said Al-Khin, yaitu petunjuk makna lafal kepada sesuatu yang telah dibatasi dengan suatu batasan yang mempersempit cakupannya atau petunjuk lafal tersebut telah tertentu maknanya.


Artinya “Dan barang siapa membunuh seseorang mikmin karena bersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”. (QS An Nisa 92).
Jadi dapat saya simpulkan bahwa muqayyad adalah suatu lafal nash yang maknanya telah tertentu karena dibatasi dengan suatu sifat tertentu sehingga pengertiannya lebih terbatas dan pasti. Muqayyad ini kebalikan dari mutlak pengertiannya lebih spesifik lagi.

·                 Bentuk-bentuk mutlak dan muqayyad

Kaidah lafal mutlaq dan muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk:
1.    Suatu lafal dipakai dengan mutlak pada suatu nash, sedangkan pada nash lain digunakan dengan muqayyad
2.    Lafal mutak dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya
3.    Lafal mutlak dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam hukumnya ataupun sebab hukumnya
4.    Mutlak dan muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya sama.
5.    Mutlak dan muqayyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.

·                Hubungan antara mutlak dan muqayyad
Apabila da suatu lafal, yang disatu tempat berbentuk mutlak, sedangkan ditempat yang lain berbentuk muqayyad, ada empat kemungkinan dari ketentuannya.

1.      Persamaan sebab dan hukum
Apabila kedua lafal itu bersamaan dalam sebab dan hukumnya, maka harus diikutkan satu kepada lain, yakni yang muqayyad. Artinya lafal mutlak tadi, tidak lagi mutlak, karena harus tunduk pada yang muqayyad dan harus diartikan secara muqayyad. Jadi, kedua lafal tadi sekalipun berbeda dalam bentuknya, memiliki kesamaan dalam cara mengertikannya. Oleh karena itu, yang muqayyad sebagai pebjelas (yang menjelaskan) pada yang mutlak. Contoh lafal, artinya tiga hari, bentuknya sebagimana yang terdapat dalam ayat:

 فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
Artinya: “Barang siapa yang tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari” (QS Al-Maidah 89)

Menurut bacaan mutawatir, bentuk lafal diatas adalah mutlak. Akan tetapi, menurut bacaan syadzah, bentuk lafal tersebut adalah muqayyad (bacaan Ubbaid bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud) ayat itu berbunyi

Artinya “Hendaknya puasa tiga hari berturut-turut. Jadi, dibatasi oleh kata-kata berturut-turut.”

Karena kedua bacaan tadi bersamaan sebab dan hukumnya, qiraat mutawatir diatas harus diikutkan pada qiraat syadzah. Jadi, cara mengartikannya dipersamakan dengan qiraat syadzah, yaitu hendaklah berpuasa tiga hari berturut-turut. Jadi, dalam qiraat mutawatir harus juga dibatasi dengan berturut-turut karena keduanya sama hukumnya, yaitu wajib puasa dan sama sebabnya, yaitu karena kafarat sumpah.

2.      Sebabnya berbeda tetapi hukumnya sama
Apabila dua lafal itu berbeda dalam sebab, tetapi tidak berbeda dalam hukum (persamaan hukum), bagian ini diperselisihkan oleh ulama ushul. Menurut sebagian ulama, yang mutlak harus diikutkan pada yang muqayyad, sedangkan ulama yang mutlak tetap pada kemutlakannya. Contoh lafal berbentuk mutlak dalam QS Mujadilah:3


وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ۚ ذَٰلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَخَبِيرٌ
Artinya: “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al- Mujadilah: 3)

وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا ۚ 
Artinya: “Dan barang siapa membunuh mukmin karena tersalah (tidak sengaja), maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang mukmin, serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu).” (QS. An-nisa 92).

Jadi dapat saya simpulkan bahwa hubungan antara mutlak dan muqayyad itu satu tujuan walaupun  diantara keduanya ada perbedaan tetapi masih tetap sama. Dalam ayat pertama, yang menjadi sebab dia memerdekaan ialah karena bersumpah zhihar, sedangkan pada ayat yang kedua karena membunuh dengan tidak sengaja. Jadi, berbeda sebabnya.[4]

a.    Al-amr dan An-nahy
Menurut bahasa Arab al-amr adalah perintah, sedangkan menurut istilah adalah suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk megerjakan suatu perkerjaan dari atasan kepada bawahan. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa Amar itu tidak hanya ditunjukkan pada lafadz-lafadz yang memakai sighat (bentuk kata) Amar saja, tetapi ditunjukkan pula oleh semua bentuk kata yang didalamnya mengandung arti perintah. Jadi Amar merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya mewajibkan/mengharuskan.
Hakikat pengertian amar (perintah) ialah Lafal yang dikehendaki supaya orang mengerjakan perintah apa yang dimaksudkan. Menurut Ali Hasbullah menyatakan bahwa amar berarti suatu tuntutan perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya. Dalam hal ini, tidak diharuskan bahwa orang yang menyuruh lebih tinggi  derajatnya dari orang yang disuruh, walaupun perintah tersebut tidak akan ditaati oleh yang disuruh itu, karena derajatnya lebih tinggi daripada yang menyuruh. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa orang yang menyuruh harus lebih tinggi derajatnya daripada orang yang disuruh, yakni dalam hal ini Allah kepada hambanya.[5]
Contoh dari al-amr ini ,isalnya dalam surat al baqarah ayat 43 yang Artinya: “Dirikanlah Shalat”. (QS. Al baqarah: 43). Maka ini otomatis tidak dapat dielakkan lagi karena ini merupakan perintah mutlaq yang tidak bisa diperluaskan lagi.

Sedangkan, nahi menurut bahasa adalah mencegah, melarang (al-man’u), sedangkan Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain dengan menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan, atau  lafadz yang menyuruh kita untuk meninggalkan suatu pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi dari kita. Akal juga disebut nuhyah (nahyu), karena dia dapat mencegah orang yang berakal itu untuk tidak berbuat salah.
Menurut Abdul Hamid Hakim menyebutkan bahwa nahi adalah perintah untuk meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan. Jadi Nahi adalah suatu larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.
Adapun contoh nahi yang menunjukkan haram, seperti dalam firman Allah yang
Artinya: “dan janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”. (QS. Ali Imran: 130)
Ketentuan nahi adalah haram, maka makan harta riba hukumnya haram, karena tidak diridlai Allah swt. Inilah hukum asli dari nahi. Kecuali apabila ada qarinah yang memengaruhinya, maka nahi tersebut tidak lagi menunjukkan hukum haram, tetapi menunjukkan hukum makruh, mubah, dan sebagainya. Sesuai dengan qarinah yang memengaruhinya itu. Ada ulama yang berpendapat bahwa nahi yang masih asli itu menunjukkan hukum makruh. Namun, pendapat yang lebih kuat, bahwa nahi adalah haram.

2.3   ‘Am/umum dan Khas
a.       ‘Am/umum
‘Am menurut bahasa merupakan merata, secara umum. Sedangkan menurut istilah adalah lafazh yang meliputi pengertian umum , terhadap semua apa yang termasuk pengertian lafazh itu, dengan hanya disebut sekaligus.
Dengan pengertian lain ‘Am adalah suatu perkataan yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam pertkataan itu dengan tidak terbatas, misalnya: al insan yang berarti manusia . Perkataan ini memiliki pengertian umum , jadi semua manusia termasuk dalam perkataan ini. Sekali mengucapkan kata al insan sudah meliputi manusia seluruhnya.
Menurut Al Amidi, seorang ulama madzhab syafii, bahwa lafal umum ialah suatu lafal yang menunjukan dua hal atau lebih secara bersamaan dengan mutlaq, hakekat dari definisi ini ialah lafal yang terdiri dari satu pengertian secara tunggal, tetapi mengandung beberapa satuan pengertian.
Contoh dari lafazd ‘am secara umum seperti  firman Allah  dalam surat At-Thur ayat 21 yang artinya “Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya”.

·         Macam- macam ‘Am
Para ulama dalam hal ini membagi ‘Am menjadi tiga kategori:
1.      Al ‘Am Al Istighraqy, yakni yang mencakup segala sesuatu yang dapat dicakupnya tanpa kecuali, sehingga semua disentuh olehnya, misal: ketentuan tentang kewajiban wanita yang bercerai untuk melaksanakan ‘iddah (masa tunggu) selama tiga quru (suci atau haid). Ketentuan ini berlaku untuk segala bentuk perceraian, kecuali jika ada petunjuk lain yang mengecualikan salah satu bentuknya. Contoh lain misalnya kata An-nas atau manusia dalam firman Allah dalam surat Al-baqarah ayat 21 yang Artinya : Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.
2.      Am Majmuiy, yakni yang tidak mencakup keseluruhan bagian bagiannya satu demi satu, tetai secara umum saja. Misalnya : kewajiban mempercayai nabi nabi yang di utus allah, jumlah mereka banyak, namun dua puluh lima nabi yang disebut nama namanya dalam al-Quran sudah dinilai cukup mewakili seluruh nabi yang banyak sekali.
3.      Al ‘Am Al Badaly, yakni yang diwakili oleh seorang saja dari anggota yang dicakup oleh lafaz itu. Misalnya : perintah untuk bernafkah kepada fakir miskin. Memberi seorang siapa saja dari siapapun yang berstastus fakir miskin, sudah cukup. Karena memang lafaz umum di sini adalah al ‘am badaly.[6]
           
b.      Khas
Pengertian khâsh adalah lawan dari pengertian ‘âmm (umum). Dengan demikian, jika telah memahami pengertian lafaz ‘âmm secara tidak langsung, juga dapat memahami pengertian lafaz khâsh. Karenannya tidak semua penulis yang menguraikan tentang lafaz khâsh dalam bukunya, memberikan pengertian lafaz khâsh itu secara definitif.  Al-Amidi sebelum mengemukakan definisi, ia mengeritik penulis yang mendefinisikan khâsh dengan: “Setiap lafaz yang bukan lafaz ‘âmm”[7]
·         Hukum Lafazh Khash
Lafazh yang terdapat pada nash syara’ menunjukkan satu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu. Dengan demikian, apabila ada suatu kemungkinan arti lain yang tidak berdasar pada dalil, maka ke-qath’i-an dilalahnya tidak terpengaruh.
a.       Apabila lafazh khas dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafazh itu memberi faedah ketetapan hukum secara mutlaq,selama tidak ada dalil yang membatasinya.
b.      Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberkan faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada makna yang lain.
c.       Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk larangan (nahy), ia memberikan faedah berupa hukum haram terhdap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang memalingkan dari hal itu.

Atas dasar itu, maka kata salasatin pada firman Allah SWT. Yang berbunyi: Mengandung pengertian khas, yang tidak mungkin mengandung arti kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafazh itu sendiri, yaitu tiga. Oleh karena itu, dilalah maknanya adalah qatiyah.[8]

·         Macam-Macam Khas
1.      Khash Syakhshi, seperti nama-nama alam
2.      Khash Nuu’, seperti Al-insan adalah suatu lafal yang menunjukkan makna bagi seorang laki-laki yang sudah balig.
3.      Khash Jinsi, seperti: La insan ialah hewan yang berfikir/berbicara. Itulah hakikatnya.
4.      Lafal yang mempunyai beberapa makna bagi zat.




2.4 Al-Musytarat
Lafal Musytarak menurut Abdul Wahab Khallaf ialah lafal yang mempunyai dua arti atau lebih dengan kegunaan yang banyak yang dapat menunjukkan kepada artinya secara bergantian, maksudnya ialah bahwa lafal itu bisa menunjukkan arti ini atau arti itu.
Contoh lafal Musytarak yang mempunyai dua arti misalnya seperti yang terdapat dala firman Allah surat Al-baqarah ayat 222 yang artinya "Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci....”
Kata suci dalam ayat ini dapat diartikan berhenti dari haid atau berhenti dari haid dan sudah mandi wajib.
Contoh lafal musytarak yang mempunyai tiga arti:Artinya: “Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,…”. (QS. Al-Baqarah: 222)
Kata kalalah dalam ayat ini mempunyai tiga arti; orang yang meninggalkan anak tetapi tidak mempunyai ayah, tidak meninggalkan anak dan juga tidak meninggalkan ayah dan orang tidak meninggalkan keluarga jurusan anak dan jurusan ayah. Namun yang dimaksud dalam ayat ini ialah orang yang meninggalkan anak, tetapi tidak meninggalkan ayah.[9]
Mengenai hukum lafal musytarak, diatas telah dikemukakan bahwa lafal musytarak mempunyai dua arti, arti yang diambil hanya satu. Kalau disebabkan perbedaan antara bahasa dan arti syara’, arti syara’-lah yang dipakai dan kalau disebutkan perbedaan antara arti hakiki dan majazai, arti hakiki yang dipakai.


2.4   Al Muawwal
Secara bahasa Al muawwal adalah yang dirujuk dari kata Awwala- Yuawwilu yang mempunyai arti At-tafsir, Al-marja, Al-mashir. Dari segi bahasa At-tafsir mempunyai arti penjelasan atau uraian, Al-marja berarti kembali atau tempat kembali.[10]
Menurut istilah Al muawaal yang dikemukakan oleh imam Al Ghazali adalah
sesungguhnya takwil itu merupakan ungkapan tentang  pengambilan makna dari lafazh yang bersifat probabilitas  yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafazh zhahir.

a.       Objek Al-muawwal
Kajian takwil(al-muawwal) yang tidak menyangkut nash-nash yang qathi’ baik secara khusus atau secara umum yang merupakan landasan-landasan kaidah syari’ yang bersifat umum atau kaidah fiqih yang berguna untuk menentukan ketetapan hukum permasalahan dalam furu’ sehingga para imam dapat menerima dan mengamalkannya. Takwil juga tidak menyangkut dengan hukum-hukum agama penting lainnya yang mudah ataupun sulit untuk dipahami yang merupakan dasr-dasar syariat yang bersifat umum diantaranya bahan-bahan yang memerlukan penafsiran dan pematokan hukum karena maksud syara’ harus diterangkan dengan jelas dan digambarkan secara qath’i agar terhindar dari munculnya arti yang spekulatif.[11]

b.      Dali-dalil penunjang Al-muawwal
Takwil(al muawwal) pada dasarnya mencakup arti yang lemah memerlukan dalil yang mampu memperkuat praduga hasil takwil tersebut. Sehingga arti yang tadinya lemah akan menjadi kuat karena sesuai dengan kemaslahatan umum dan dugaan para mujtahid.
Dalil penunjang takwil harus lebih kuat daripada dalil penunjang arti secara bahasa atau dalilnya harus lebih kuat dari dalil-dalil yang menunjukkan bahwa dilaksankannya atau tidak, nash tersebut sama saja. Dengan cara seperti itu, hasil penakwilan akan lebih kuat dan menjadi takwil yang shahih.
Secara ringkas dalil-dalil takwil yang dipakai sebagai berikut:
a.       Nash yang diambil dari al-quran dan as sunnah.
b.      Ijma’
c.       Kaidah-kaidah umum syariat yang diambil dari al-quran dan as sunnah
d.      Kaidah-kaidah fiqih yang menetapkan bahwa pembentuk syariat memperhatikan hal-hal yang bersifat jiz’i tanpa batas, yang diterima dan diamalkan oleh para imam dan menjadi dasar adanya perbedaan dalam ijtihad.
e.       Hakikat kemaslahatan umum
f.        Adat yang diucapkan dan diamalkan
g.      Hakikat syariat itu sendiri, yang terkadang berupa maksud yang berhubungan dengan kemasyarakatan, perekonomian, politik dan akhlak
h.      Qiyas
i.        Akal yang merupakan sumberperbincangan segala sesuatu, yang menurut kaum ushuliyyin lebi dikenal dengan istilah takwil qarib

Rusaknya penakwilan biasanya berawal dari mendatangkan sesuatu yang tidak perlu atau menyalahi salah satu pembentuk syariat kaidah-kaidah umum hukum, hukum-hukum yang bersumber dari dalil yang qath’i dan melakukan takwil baid yang dilarang. Dengan kata lain jangan samapai melakukan ijtihad dengan takwil dan menyimpang dari kaidah-kaidah dasar di atas.

















BAB III
PENUTUP

3.1          KESIMPULAN
Istinbath hukum merupakan sebuah cara pengambilan hukum dari sumbernya. Perkataan ini lebih populer disebut dengan metodologi penggalian hukum. Metodologi, menurut seorang ahli dapat diartikan sebagai pembahasan konsep teoritis berbagai metode yang terkait dalam suatu sistem pengetahuan. Jika hukum Islam dipandang sebagai suatu sistem pengetahuan, maka yang dimaksudkan metodologi hukum Islam adalah pembahasan konsep dasar hukum Islam dan bagaimanakah hukum Islam tersebut dikaji dan diformulasikan.
Ada dua macam istinbat yaitu yaitu yang berbentuk lafdziyah dan maknawiyah.
1.      Istinbat Lafdziyah
Istinbat lafdziyah dalah mengistinbatkan hukum atau mengambil suatu hukum ditinjau dari segi lafadznya.
2.      Istinbat Maknawiyah
Istinbat maknawiyah adalah mengambil hukum yang ditinjau dari segi maknanya.

 Mutlaq menurut ushul fiqih adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz. Sedangkan muqayyad adalah suatu lafal nash yang maknanya telah tertentu karena dibatasi dengan suatu sifat tertentu sehingga pengertiannya lebih terbatas dan pasti.
Menurut bahasa Arab al-amr adalah perintah, sedangkan menurut istilah adalah suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk megerjakan suatu perkerjaan dari atasan kepada bawahan. Sedangkan nahi menurut bahasa adalah mencegah, melarang (al-man’u), sedangkan Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain dengan menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan, atau  lafadz yang menyuruh kita untuk meninggalkan suatu pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi dari kita.
 ‘Am adalah suatu perkataan yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam pertkataan itu dengan tidak terbatas, misalnya: al insan yang berarti manusia . Perkataan ini memiliki pengertian umum , jadi semua manusia termasuk dalam perkataan ini. Sekali mengucapkan kata al insan sudah meliputi manusia seluruhnya. Sedangkan Pengertian khâsh adalah lawan dari pengertian ‘âmm (umum). Dengan demikian, jika telah memahami pengertian lafaz ‘âmm secara tidak langsung, juga dapat memahami pengertian lafaz khâsh. Karenannya tidak semua penulis yang menguraikan tentang lafaz khâsh dalam bukunya, memberikan pengertian lafaz khâsh itu secara definitif.
Lafal Musytarak menurut Abdul Wahab Khallaf ialah lafal yang mempunyai dua arti atau lebih dengan kegunaan yang banyak yang dapat menunjukkan kepada artinya secara bergantian, maksudnya ialah bahwa lafal itu bisa menunjukkan arti ini atau arti itu.
Secara bahasa Al muawwal adalah yang dirujuk dari kata Awwala- Yuawwilu yang mempunyai arti At-tafsir, Al-marja, Al-mashir. Dari segi bahasa At-tafsir mempunyai arti penjelasan atau uraian, Al-marja berarti kembali atau tempat kembali.
Menurut istilah Al muawaal yang dikemukakan oleh imam Al Ghazali adalah
sesungguhnya takwil itu merupakan ungkapan tentang  pengambilan makna dari lafazh yang bersifat probabilitas  yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafazh zhahir.

3.2          Saran
Meskipun kami sudah berusaha maksimal menyelesaikan makalah ini, tapi kami yakin masih banyak kesalahan dan kekurangannya. Karenanya, kritik dan saran sangat kami nantikan untuk perbaikan selanjutnya. Terima kasih.














DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Miftahul dan Haq, A. Faisal, Ushul Fiqh: Kiaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam, Cet. I, Surabaya: Citra Media, 1997.
Burhanuddin, Fiqih Ibadah, Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.
Ma’sum Zein Zudbah, Muhammad, UshulFiqh, Jawa Timur: Darul Hikmah. 2008.
Mas’adi, Gufron, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
Mu’in, Asymuni Rahman, Ushul Fiqh II,  Jakarta: Departemen Agama, 1986.
Nazar Bakry, Sidi, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir ( Syarat, Ketentuan, Dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Ayat Ayat Al Quran), Tangerang: Lentera Hati, 2013.
Khudlarî Bik, Syaikh Muhammad al-. Ushûl al-Fiqh. Beirut: Dâr al-Fikr, 1998.
Syafii, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqh. Cet ke IV. Bandung: CV Pustaka Setia. 2010.



[1] Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: 1998), hlm. 2.
[2] Mu’in, Asymuni Rahman, Ushul Fiqh II, (Jakarta: Departemen Agama, 1986), hlm. 2
[3] Imam Jalaludin As –Syuthi,Samudra Ulumul Qur’an,Jilid 3, Surabaya ,Pt Bina Ilmu, 2007, hlm.129.
[4] Burhanuddin, Fiqih Ibadah, (Bandung:2010), hlm 198-199
[5] Muhammad Ma’sum Zein Zudbah, UshulFiqh, (JawaTimur:2008), hlm. 52
[6]  M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Hlm 179-183
[7]  Muhammad Khudarî Bik, Ushûl al-Fiqh. Hlm 147
[8] Sidi Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: 2003), hlm.199

[9] Miftahul Arifin dan A. Faisal Haq,  Ushul Fiqh: Kiaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam, (Surabaya: 1997), hlm. 204.
[10] Rachmat syafiie, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: 2010), hlm. 169
[11]  Ibid, hlm 172
Labels: MAKALAH

Thanks for reading Makalah Ushul Fiqh Metode Istinbath Hukum Islam . Please share...!

3 Comment for "Makalah Ushul Fiqh Metode Istinbath Hukum Islam "

Komentar ini telah dihapus oleh pengarang. - Hapus

Back To Top