BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumber pokok ajaran islam adalah Al-qur,an
dan Al-hadist pada masa rasul. Apabila muncul suatu persoalan yang mengenai
hukum baik itu berhubungan denganAllah maupun dengan masyarakat, maka Allah
menurunkan ayat untuk menjelaskannya. Rasulullah sebagai pemberi penejelasan
kepada umatnya tentang bagaimana ayat yang diturunkan tersebut. Penjelasan
tentang Al-qur,an tidak selamanya tegas dan terperinci(tafsili), melainkan
banyak juga yang bersifat garis besar(ijmali) dan terkadang rasulullah harus
menggunakan akal yang disebut dengan ijtihad.
Permasalahan-permasalahan yang tumbuh
dalam masyarakat adakala sudah ditemuakan dalam nashnya yang jelas dalam
Al-qur’an dan Al-hadist, tetapi yang ditemukan tersebut merupakan hanya
prinsip-prinsip umum. Untuk pemecahan masalah yang baru timbul yang belum ada
nash secara jelas, perlu dilakukan istinbath hukum yaitu mengeluarkan
hukum-hukum baru terhadap permasalahan yang muncul dalam masyarakat dengan
melakukan ijtihad berdasarkan dalil-dalil yang ada didalam Al-qur’an dan
Al-hadist.
Dengan jalan istinbath itu maka hukum
islam akan senantiasa berkembang seirama dengan terjadinya dinamika
perkembangan masyarakat guna mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan dan juga
menegakkan ketertiban dalam pergaulan masyarakat serta menjamin hak dan
kewajiban masing-masing individu yang berkepintingan secara jelas.
Bagi seseorang yang ingin melakukan
ijtihad sebuah hukum, maka ilmu ushul fiqh mutlak diperlukan karena ia
merupakan alat atau acuan dalam melakukan istinbanth hukum. Dalam makalah ini
akan kami bahas tentang istinbath hukum dan beberapa poin saja yang menganai
dengan istinbath hukum, sebab kalau kita bahas semua yang ada dalam metode
istinbath hukum maka akan cukup banyak yang perlu dibahas dan memerlukan waktu
yang lebih lama.
1.2 Rumusan
Masalah
Adapun masalah yang timbul dari latar
belakang diatas yang kami ambil antara lain:
1. Apa
pengertian istinbath?
2. Bagaimana
yang dimaksud dengan pendekatan lafadz kepada makna ? yang didalamnya
terdapat mutlaq, muqayyad, al-amr, an-nahy
3. Bagaimana
yang dikatakan dengan:
·
‘Am/umum dan Khas
·
Al-musytarat
·
Al-muawwal
1.3 Tujuan
Adapun yang menjadi fokus tujuan
mempelajari metode istinbath hukum adalah:
1. Bisa
mengetahui definisi dari istinbath hukum.
2. Supaya
mengetahui apa itu mutlaq, muqayyad,
al-amr, dan an-nahy
3. Dapat
mengetahui apa itu ‘am/umum, al-musytarat, al-muawwal.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Metode
Istinbath Hukum
Istinbath hukum merupakan sebuah cara
pengambilan hukum dari sumbernya. Perkataan ini lebih populer disebut dengan
metodologi penggalian hukum. Metodologi, menurut seorang ahli dapat diartikan
sebagai pembahasan konsep teoritis berbagai metode yang terkait dalam suatu
sistem pengetahuan. Jika hukum Islam dipandang sebagai suatu sistem
pengetahuan, maka yang dimaksudkan metodologi hukum Islam adalah pembahasan
konsep dasar hukum Islam dan bagaimanakah hukum Islam tersebut dikaji dan
diformulasikan.[1]
Kata istinbat jika dihubungkan dengan hukum, maka
istinbat merupakan suatu upaya penarikan hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah
melalui jalan ijtihad. Sedangkan menurut bahasa istinbat adalah mengeluarkan
atau menetapkan. Menurut istilah, istinbat adalah upaya mengeluarkan
makna-makna dari nash-nash yang terkandung didalamnya dengan cara mengerahkan
kemampuan dari potensi naluriyah. Dari nash-nash tersebut menghasilkan dua
macam istinbat yaitu yaitu yang berbentuk lafdziyah dan maknawiyah.
1. Istinbat
Lafdziyah
Istinbat lafdziyah dalah mengistinbatkan hukum atau
mengambil suatu hukum ditinjau dari segi lafadznya. Ada tiga cara untuk
mengetahui makna yang tepat dari suatu lafadz, yaitu:
a. Berdasarkan pengertian banyak orang yang telah
mutawattir.
b. Berdasarkan
pengertian orang-orang tertentu.
c. Berdasarkan
hasil pemikiran akal nalar pemikiran suatu lafadz.
2. Istinbat
Maknawiyah
Istinbat maknawiyah adalah mengambil hukum yang
ditinjau dari segi maknanya. Sebagaimana dikutip oleh Nasrun Rusli melihat ada
dua cara pendekatan yang dikembangkan oleh para pakar dalam melakukan istinbat,
yakni melalui kaidah-kaidah kebahasan dan melalui pengenalan maksud syariat.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang
yang akan melakukan istinbat atau ijtihad adalah sebagai berikut:
a.
Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat
Al-Quran yang berhubungan dengan
masalah hukum.
b.
Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis
Nabi yang berhubungan dengan masalah hukum.
c.
Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah
ditunjukkan oleh ijma’,agar dalam menetukan hukum sesuatu tidak bertentangan
dengan ijma’.
d.
Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan
dapat mempergunakannya untuk istinbat hukum.
e.
Mengetahui ilmu logika, agar dapat menghasilkan
kesimpulan yang benar tentang hukum, dan sanggup mempertanggung jawabkannya.
f.
Menguasai bahasa arab secara mendalam karena Al-Qur’an
dan Sunnah tersusun dalam bahasa Arab.[2]
Dari penjelasan diatas maka dapat kita
simpulkan bahwa ada beberapa metode istinbath hukum yang dijelaskan oleh
pakar(fiqh) guna untuk mendapatkan suatu hukum yang baru dengan merujuk hukum
dasar yang sudah ada dan guna untuk menjawab persoalan yang ada, disini akan
dijelaskan beberapa metode saja yang ada dalam metode istinbath antara lain
adalah:
2.2 Pendekatan lafazd kepada makna
Cara penggalian hukum dan
nash ada dua macam pendekatan,yaitu pendekatan makna dan pendekatan lafal.
Pendekatan makna adalah penarikan kesimpulan hukum bukan kepada nash langsung
seperti menggunakan qiyas, istihsan, maslahah mursalah dan lain sebagainya.
Sedang pendekatan lafal penerapannya membutuhkan beberapa faktor pendukung yang
sangat dibutuhkan yaitu penguasaan terhadapmakna dari lafal-lafal nash serta
konotasinya dari segi umum dan khusus dan mengetahui dalalahnya. Didalamnya
dibahas tentang mutlaq, muqayyad, amr dan
nahy
a. Mutlaq
dan Muqayyad
Mutlaq menurut ushul fiqih adalah suatu lafadz yang
menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya.
Misalnya: kata “meja”, “rumah”, “jalan”, kata-kata ini memiliki makna mutlak
karena secara makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada pengertian makna
tertentu yang telah kita pahami, Beberapa pendapat para ualam tentang mutlak
dan muqayyad:
Menurut Khudhari Beik, mutlaq ialah lafadz yang
memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan
yang terpisah secara lafdzi.
Menurut Abu Zahrah, mutlaq ialah lafadz yang memberi
petunjuk terhadap maudhu’nya tanpa memandang kepada satu, banyak, atau
sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya.
Munurut bahasa yaitu tidak terikat sedangkan muqayyad
kebalikan dari mutlak. Sedangkan menurut istilah adalah suatau kata yang menunjukan suatu
materi dengan tanpa ikatan.Mutlaq dan
Muqayad itu sama dengan ‘am dan
Khasa.[3]
Muqayyad didefinsikan juga oleh para ulama ushul yaitu: menurut Syaikh
Al-KhudariBeik, Muqayyad ialah lafal yang menunjukan suatu objek (afrad) atau
beberapa objek tertentu yang dibatasi oleh lafal tertentu. Sedangkan menurut
Zaky Al-Din Sya’ban, muqayyad ialah suatu lafal yang menunjukan atas satu objek
atau beberapa objek dan ia telah oleh suatu sifat. Dan menurut Mustafa Said
Al-Khin, yaitu petunjuk makna lafal kepada sesuatu yang telah dibatasi dengan
suatu batasan yang mempersempit cakupannya atau petunjuk lafal tersebut telah
tertentu maknanya.
Artinya “Dan barang siapa membunuh seseorang mikmin karena bersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”. (QS An Nisa
92).
Jadi dapat saya simpulkan bahwa muqayyad adalah suatu lafal nash yang
maknanya telah tertentu karena dibatasi dengan suatu sifat tertentu sehingga
pengertiannya lebih terbatas dan pasti. Muqayyad ini kebalikan dari mutlak
pengertiannya lebih spesifik lagi.
·
Bentuk-bentuk mutlak dan muqayyad
Kaidah lafal mutlaq dan
muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk:
1.
Suatu lafal dipakai dengan
mutlak pada suatu nash, sedangkan pada nash lain digunakan dengan muqayyad
2.
Lafal mutak dan muqayyad
berlaku sama pada hukum dan sebabnya
3.
Lafal mutlak dan muqayyad
yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam hukumnya ataupun sebab hukumnya
4.
Mutlak dan muqayyad berbeda
dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya sama.
5.
Mutlak dan muqayyad sama
dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.
·
Hubungan antara mutlak dan
muqayyad
Apabila da suatu lafal, yang disatu tempat berbentuk
mutlak, sedangkan ditempat yang lain berbentuk muqayyad, ada empat kemungkinan
dari ketentuannya.
1. Persamaan
sebab dan hukum
Apabila kedua lafal itu bersamaan dalam sebab dan hukumnya,
maka harus diikutkan satu kepada lain, yakni yang muqayyad. Artinya lafal
mutlak tadi, tidak lagi mutlak, karena harus tunduk pada yang muqayyad dan
harus diartikan secara muqayyad. Jadi, kedua lafal tadi sekalipun berbeda dalam
bentuknya, memiliki kesamaan dalam cara mengertikannya. Oleh karena itu, yang
muqayyad sebagai pebjelas (yang menjelaskan) pada yang mutlak. Contoh lafal,
artinya tiga hari, bentuknya sebagimana yang terdapat dalam ayat:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
Artinya: “Barang siapa yang tidak sanggup
melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari” (QS
Al-Maidah 89)
Menurut bacaan mutawatir, bentuk lafal diatas adalah
mutlak. Akan tetapi, menurut bacaan syadzah, bentuk lafal tersebut adalah muqayyad
(bacaan Ubbaid bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud) ayat itu berbunyi
Artinya “Hendaknya puasa tiga hari berturut-turut.
Jadi, dibatasi oleh kata-kata berturut-turut.”
Karena kedua bacaan tadi bersamaan sebab dan hukumnya,
qiraat mutawatir diatas harus diikutkan pada qiraat syadzah. Jadi, cara
mengartikannya dipersamakan dengan qiraat syadzah, yaitu hendaklah berpuasa
tiga hari berturut-turut. Jadi, dalam qiraat mutawatir harus juga dibatasi
dengan berturut-turut karena keduanya sama hukumnya, yaitu wajib puasa dan sama
sebabnya, yaitu karena kafarat sumpah.
2. Sebabnya
berbeda tetapi hukumnya sama
Apabila dua lafal itu berbeda dalam sebab, tetapi
tidak berbeda dalam hukum (persamaan hukum), bagian ini diperselisihkan oleh
ulama ushul. Menurut sebagian ulama, yang mutlak harus diikutkan pada yang
muqayyad, sedangkan ulama yang mutlak tetap pada kemutlakannya. Contoh lafal
berbentuk mutlak dalam QS Mujadilah:3
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ۚ ذَٰلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ ۚ
وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَخَبِيرٌ
Artinya: “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka,
kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib
atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu
bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al- Mujadilah: 3)
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ
مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا ۚ
Artinya: “Dan barang siapa membunuh mukmin karena
tersalah (tidak sengaja), maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang
mukmin, serta membayar diat yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh itu), .” (QS.
An-nisa 92).
Jadi dapat saya
simpulkan bahwa hubungan antara mutlak dan muqayyad itu satu tujuan
walaupun diantara keduanya ada perbedaan tetapi masih tetap sama. Dalam
ayat pertama, yang menjadi sebab dia memerdekaan ialah karena bersumpah zhihar,
sedangkan pada ayat yang kedua karena membunuh dengan tidak sengaja. Jadi,
berbeda sebabnya.[4]
a.
Al-amr dan An-nahy
Menurut bahasa Arab al-amr adalah perintah, sedangkan menurut
istilah adalah suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk
megerjakan suatu perkerjaan dari atasan kepada bawahan. Dari definisi tersebut
dapat dipahami bahwa Amar itu tidak hanya ditunjukkan pada lafadz-lafadz yang
memakai sighat (bentuk kata) Amar saja, tetapi ditunjukkan pula oleh semua
bentuk kata yang didalamnya mengandung arti perintah. Jadi Amar merupakan suatu
permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya mewajibkan/mengharuskan.
Hakikat pengertian amar (perintah) ialah Lafal yang
dikehendaki supaya orang mengerjakan perintah apa yang dimaksudkan. Menurut Ali
Hasbullah menyatakan bahwa amar berarti suatu tuntutan perbuatan dari pihak
yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya.
Dalam hal ini, tidak diharuskan bahwa orang yang menyuruh lebih tinggi derajatnya dari orang yang disuruh, walaupun
perintah tersebut tidak akan ditaati oleh yang disuruh itu, karena derajatnya
lebih tinggi daripada yang menyuruh. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa orang
yang menyuruh harus lebih tinggi derajatnya daripada orang yang disuruh, yakni
dalam hal ini Allah kepada hambanya.[5]
Contoh dari al-amr ini ,isalnya dalam surat al baqarah ayat
43 yang Artinya: “Dirikanlah Shalat”. (QS. Al baqarah: 43). Maka ini otomatis
tidak dapat dielakkan lagi karena ini merupakan perintah mutlaq yang tidak bisa
diperluaskan lagi.
Sedangkan, nahi menurut bahasa adalah mencegah, melarang
(al-man’u), sedangkan Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk
meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain dengan menggunakan ucapan yang
sifatnya mengharuskan, atau lafadz yang menyuruh
kita untuk meninggalkan suatu pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang
lebih tinggi dari kita. Akal juga disebut nuhyah (nahyu), karena dia dapat
mencegah orang yang berakal itu untuk tidak berbuat salah.
Menurut Abdul Hamid Hakim menyebutkan bahwa nahi adalah
perintah untuk meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan. Jadi Nahi
adalah suatu larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada
bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.
Adapun contoh nahi yang menunjukkan haram, seperti dalam
firman Allah yang
Artinya:
“dan janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”. (QS. Ali Imran: 130)
Ketentuan nahi adalah haram, maka makan harta riba hukumnya
haram, karena tidak diridlai Allah swt. Inilah hukum asli dari nahi. Kecuali
apabila ada qarinah yang memengaruhinya, maka nahi tersebut tidak lagi
menunjukkan hukum haram, tetapi menunjukkan hukum makruh, mubah, dan
sebagainya. Sesuai dengan qarinah yang memengaruhinya itu. Ada ulama yang
berpendapat bahwa nahi yang masih asli itu menunjukkan hukum makruh. Namun,
pendapat yang lebih kuat, bahwa nahi adalah haram.
2.3
‘Am/umum dan Khas
a.
‘Am/umum
‘Am menurut bahasa
merupakan merata, secara umum. Sedangkan menurut istilah adalah lafazh yang
meliputi pengertian umum , terhadap semua apa yang termasuk pengertian lafazh
itu, dengan hanya disebut sekaligus.
Dengan pengertian lain ‘Am adalah suatu perkataan yang
memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam pertkataan
itu dengan tidak terbatas, misalnya: al insan yang berarti manusia . Perkataan
ini memiliki pengertian umum , jadi semua manusia termasuk dalam perkataan ini.
Sekali mengucapkan kata al insan sudah meliputi manusia seluruhnya.
Menurut Al Amidi, seorang ulama madzhab syafii, bahwa lafal
umum ialah suatu lafal yang menunjukan dua hal atau lebih secara bersamaan
dengan mutlaq, hakekat dari definisi ini ialah lafal yang terdiri dari satu
pengertian secara tunggal, tetapi mengandung beberapa satuan pengertian.
Contoh dari lafazd ‘am secara umum seperti firman Allah
dalam surat At-Thur ayat 21 yang artinya “Tiap-tiap manusia terikat
dengan apa yang dikerjakannya”.
·
Macam- macam ‘Am
Para ulama dalam hal
ini membagi ‘Am menjadi tiga kategori:
1.
Al ‘Am Al Istighraqy,
yakni yang mencakup segala sesuatu yang dapat dicakupnya tanpa kecuali,
sehingga semua disentuh olehnya, misal: ketentuan tentang kewajiban wanita yang
bercerai untuk melaksanakan ‘iddah (masa tunggu) selama tiga quru (suci atau
haid). Ketentuan ini berlaku untuk segala bentuk perceraian, kecuali jika ada
petunjuk lain yang mengecualikan salah satu bentuknya. Contoh lain misalnya
kata An-nas atau manusia dalam firman Allah dalam surat Al-baqarah ayat 21 yang
Artinya : Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan
orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.
2.
Am Majmuiy, yakni yang
tidak mencakup keseluruhan bagian bagiannya satu demi satu, tetai secara umum
saja. Misalnya : kewajiban mempercayai nabi nabi yang di utus allah, jumlah
mereka banyak, namun dua puluh lima nabi yang disebut nama namanya dalam
al-Quran sudah dinilai cukup mewakili seluruh nabi yang banyak sekali.
3.
Al ‘Am Al Badaly, yakni
yang diwakili oleh seorang saja dari anggota yang dicakup oleh lafaz itu.
Misalnya : perintah untuk bernafkah kepada fakir miskin. Memberi seorang siapa
saja dari siapapun yang berstastus fakir miskin, sudah cukup. Karena memang
lafaz umum di sini adalah al ‘am badaly.[6]
b.
Khas
Pengertian khâsh adalah lawan dari pengertian ‘âmm (umum). Dengan
demikian, jika telah memahami pengertian lafaz ‘âmm secara tidak langsung, juga
dapat memahami pengertian lafaz khâsh. Karenannya tidak semua penulis yang
menguraikan tentang lafaz khâsh dalam bukunya, memberikan pengertian lafaz
khâsh itu secara definitif. Al-Amidi
sebelum mengemukakan definisi, ia mengeritik penulis yang mendefinisikan khâsh
dengan: “Setiap lafaz yang bukan lafaz ‘âmm”[7]
·
Hukum Lafazh Khash
Lafazh yang terdapat pada nash syara’ menunjukkan satu makna
tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu. Dengan
demikian, apabila ada suatu kemungkinan arti lain yang tidak berdasar pada
dalil, maka ke-qath’i-an dilalahnya tidak terpengaruh.
a.
Apabila lafazh khas
dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafazh itu memberi
faedah ketetapan hukum secara mutlaq,selama tidak ada dalil yang membatasinya.
b.
Apabila lafazh itu
dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberkan faedah berupa hukum wajib
bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang
memalingkannya pada makna yang lain.
c.
Apabila lafazh itu
dikemukakan dalam bentuk larangan (nahy), ia memberikan faedah berupa hukum
haram terhdap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang
memalingkan dari hal itu.
Atas dasar itu, maka kata salasatin pada firman Allah SWT.
Yang berbunyi: Mengandung pengertian khas, yang tidak mungkin mengandung arti
kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafazh itu sendiri, yaitu
tiga. Oleh karena itu, dilalah maknanya adalah qatiyah.[8]
·
Macam-Macam Khas
1.
Khash Syakhshi, seperti
nama-nama alam
2.
Khash Nuu’, seperti
Al-insan adalah suatu lafal yang menunjukkan makna bagi seorang laki-laki yang
sudah balig.
3.
Khash Jinsi, seperti: La
insan ialah hewan yang berfikir/berbicara. Itulah hakikatnya.
4.
Lafal yang mempunyai
beberapa makna bagi zat.
2.4 Al-Musytarat
Lafal Musytarak menurut Abdul Wahab Khallaf ialah lafal yang
mempunyai dua arti atau lebih dengan kegunaan yang banyak yang dapat
menunjukkan kepada artinya secara bergantian, maksudnya ialah bahwa lafal itu
bisa menunjukkan arti ini atau arti itu.
Contoh lafal Musytarak yang mempunyai dua arti misalnya
seperti yang terdapat dala firman Allah surat Al-baqarah ayat 222 yang artinya "Mereka
bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu
kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci....”
Kata suci dalam ayat ini dapat diartikan berhenti dari haid
atau berhenti dari haid dan sudah mandi wajib.
Contoh lafal musytarak yang mempunyai tiga arti:Artinya:
“Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak,…”. (QS. Al-Baqarah: 222)
Kata kalalah dalam ayat ini mempunyai tiga arti; orang yang
meninggalkan anak tetapi tidak mempunyai ayah, tidak meninggalkan anak dan juga
tidak meninggalkan ayah dan orang tidak meninggalkan keluarga jurusan anak dan
jurusan ayah. Namun yang dimaksud dalam ayat ini ialah orang yang meninggalkan
anak, tetapi tidak meninggalkan ayah.[9]
Mengenai hukum lafal musytarak, diatas telah dikemukakan
bahwa lafal musytarak mempunyai dua arti, arti yang diambil hanya satu. Kalau
disebabkan perbedaan antara bahasa dan arti syara’, arti syara’-lah yang
dipakai dan kalau disebutkan perbedaan antara arti hakiki dan majazai, arti
hakiki yang dipakai.
2.4
Al Muawwal
Secara bahasa Al muawwal adalah yang dirujuk dari kata
Awwala- Yuawwilu yang mempunyai arti At-tafsir, Al-marja, Al-mashir. Dari segi
bahasa At-tafsir mempunyai arti penjelasan atau uraian, Al-marja berarti
kembali atau tempat kembali.[10]
Menurut istilah Al muawaal yang dikemukakan oleh imam Al
Ghazali adalah
sesungguhnya
takwil itu merupakan ungkapan tentang
pengambilan makna dari lafazh yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti
yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafazh zhahir.
a.
Objek Al-muawwal
Kajian
takwil(al-muawwal) yang tidak menyangkut nash-nash yang qathi’ baik secara
khusus atau secara umum yang merupakan landasan-landasan kaidah syari’ yang
bersifat umum atau kaidah fiqih yang berguna untuk menentukan ketetapan hukum
permasalahan dalam furu’ sehingga para imam dapat menerima dan mengamalkannya.
Takwil juga tidak menyangkut dengan hukum-hukum agama penting lainnya yang
mudah ataupun sulit untuk dipahami yang merupakan dasr-dasar syariat yang
bersifat umum diantaranya bahan-bahan yang memerlukan penafsiran dan pematokan
hukum karena maksud syara’ harus diterangkan dengan jelas dan digambarkan
secara qath’i agar terhindar dari munculnya arti yang spekulatif.[11]
b.
Dali-dalil penunjang Al-muawwal
Takwil(al
muawwal) pada dasarnya mencakup arti yang lemah memerlukan dalil yang mampu memperkuat
praduga hasil takwil tersebut. Sehingga arti yang tadinya lemah akan menjadi
kuat karena sesuai dengan kemaslahatan umum dan dugaan para mujtahid.
Dalil
penunjang takwil harus lebih kuat daripada dalil penunjang arti secara bahasa atau
dalilnya harus lebih kuat dari dalil-dalil yang menunjukkan bahwa
dilaksankannya atau tidak, nash tersebut sama saja. Dengan cara seperti itu,
hasil penakwilan akan lebih kuat dan menjadi takwil yang shahih.
Secara
ringkas dalil-dalil takwil yang dipakai sebagai berikut:
a.
Nash yang diambil dari al-quran dan as sunnah.
b.
Ijma’
c.
Kaidah-kaidah umum syariat yang diambil dari al-quran
dan as sunnah
d.
Kaidah-kaidah fiqih yang menetapkan bahwa pembentuk
syariat memperhatikan hal-hal yang bersifat jiz’i tanpa batas, yang diterima
dan diamalkan oleh para imam dan menjadi dasar adanya perbedaan dalam ijtihad.
e.
Hakikat kemaslahatan umum
f.
Adat yang diucapkan dan diamalkan
g.
Hakikat syariat itu sendiri, yang terkadang berupa
maksud yang berhubungan dengan kemasyarakatan, perekonomian, politik dan akhlak
h.
Qiyas
i.
Akal yang merupakan sumberperbincangan segala sesuatu,
yang menurut kaum ushuliyyin lebi dikenal dengan istilah takwil qarib
Rusaknya penakwilan
biasanya berawal dari mendatangkan sesuatu yang tidak perlu atau menyalahi
salah satu pembentuk syariat kaidah-kaidah umum hukum, hukum-hukum yang
bersumber dari dalil yang qath’i dan melakukan takwil baid yang dilarang.
Dengan kata lain jangan samapai melakukan ijtihad dengan takwil dan menyimpang
dari kaidah-kaidah dasar di atas.
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Istinbath
hukum merupakan sebuah cara pengambilan hukum dari sumbernya. Perkataan ini
lebih populer disebut dengan metodologi penggalian hukum. Metodologi, menurut
seorang ahli dapat diartikan sebagai pembahasan konsep teoritis berbagai metode
yang terkait dalam suatu sistem pengetahuan. Jika hukum Islam dipandang sebagai
suatu sistem pengetahuan, maka yang dimaksudkan metodologi hukum Islam adalah
pembahasan konsep dasar hukum Islam dan bagaimanakah hukum Islam tersebut
dikaji dan diformulasikan.
Ada dua
macam istinbat yaitu yaitu yang berbentuk lafdziyah dan maknawiyah.
1. Istinbat
Lafdziyah
Istinbat lafdziyah dalah mengistinbatkan
hukum atau mengambil suatu hukum ditinjau dari segi lafadznya.
2. Istinbat
Maknawiyah
Istinbat maknawiyah adalah mengambil hukum yang ditinjau dari segi
maknanya.
Mutlaq menurut
ushul fiqih adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu
tanpa dibatasi oleh lafadz. Sedangkan muqayyad adalah suatu lafal nash yang
maknanya telah tertentu karena dibatasi dengan suatu sifat tertentu sehingga
pengertiannya lebih terbatas dan pasti.
Menurut bahasa Arab
al-amr adalah perintah, sedangkan menurut istilah adalah suatu lafadz yang
didalamnya menunjukkan tuntutan untuk megerjakan suatu perkerjaan dari atasan
kepada bawahan. Sedangkan nahi menurut bahasa adalah mencegah, melarang
(al-man’u), sedangkan Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk
meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain dengan menggunakan ucapan yang
sifatnya mengharuskan, atau lafadz yang
menyuruh kita untuk meninggalkan suatu pekerjaan yang diperintahkan oleh orang
yang lebih tinggi dari kita.
‘Am adalah suatu perkataan yang memberi
pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam pertkataan itu
dengan tidak terbatas, misalnya: al insan yang berarti manusia . Perkataan ini
memiliki pengertian umum , jadi semua manusia termasuk dalam perkataan ini.
Sekali mengucapkan kata al insan sudah meliputi manusia seluruhnya. Sedangkan Pengertian
khâsh adalah lawan dari pengertian ‘âmm (umum). Dengan demikian, jika telah
memahami pengertian lafaz ‘âmm secara tidak langsung, juga dapat memahami
pengertian lafaz khâsh. Karenannya tidak semua penulis yang menguraikan tentang
lafaz khâsh dalam bukunya, memberikan pengertian lafaz khâsh itu secara
definitif.
Lafal Musytarak menurut Abdul Wahab Khallaf ialah lafal yang
mempunyai dua arti atau lebih dengan kegunaan yang banyak yang dapat
menunjukkan kepada artinya secara bergantian, maksudnya ialah bahwa lafal itu
bisa menunjukkan arti ini atau arti itu.
Secara bahasa Al muawwal adalah yang dirujuk dari kata
Awwala- Yuawwilu yang mempunyai arti At-tafsir, Al-marja, Al-mashir. Dari segi
bahasa At-tafsir mempunyai arti penjelasan atau uraian, Al-marja berarti
kembali atau tempat kembali.
Menurut istilah Al muawaal yang dikemukakan oleh imam Al
Ghazali adalah
sesungguhnya
takwil itu merupakan ungkapan tentang
pengambilan makna dari lafazh yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti
yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafazh zhahir.
3.2
Saran
Meskipun kami sudah berusaha maksimal menyelesaikan makalah ini, tapi kami
yakin masih banyak kesalahan dan kekurangannya. Karenanya, kritik dan saran
sangat kami nantikan untuk perbaikan selanjutnya. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Miftahul dan Haq, A. Faisal, Ushul
Fiqh: Kiaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam, Cet. I, Surabaya: Citra Media,
1997.
Burhanuddin, Fiqih Ibadah,
Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.
Ma’sum Zein Zudbah, Muhammad, UshulFiqh,
Jawa Timur: Darul Hikmah. 2008.
Mas’adi, Gufron, Pemikiran Fazlur
Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1998.
Mu’in, Asymuni Rahman, Ushul Fiqh II, Jakarta: Departemen Agama, 1986.
Nazar Bakry, Sidi, Fiqh dan Ushul
Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir (
Syarat, Ketentuan, Dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Ayat Ayat
Al Quran), Tangerang: Lentera Hati, 2013.
Khudlarî Bik, Syaikh Muhammad al-.
Ushûl al-Fiqh. Beirut: Dâr al-Fikr, 1998.
Syafii, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqh.
Cet ke IV. Bandung: CV Pustaka Setia. 2010.
[1] Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi
Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: 1998), hlm. 2.
[2] Mu’in,
Asymuni Rahman, Ushul Fiqh II, (Jakarta: Departemen Agama, 1986),
hlm. 2
[3] Imam Jalaludin As –Syuthi,Samudra
Ulumul Qur’an,Jilid 3, Surabaya ,Pt Bina Ilmu, 2007, hlm.129.
[5] Muhammad Ma’sum Zein Zudbah, UshulFiqh, (JawaTimur:2008), hlm. 52
[8] Sidi Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: 2003),
hlm.199
[9] Miftahul Arifin dan A. Faisal Haq,
Ushul Fiqh: Kiaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam, (Surabaya: 1997),
hlm. 204.
[10] Rachmat syafiie, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: 2010), hlm.
169
[11]
Ibid, hlm 172
Labels:
MAKALAH
Thanks for reading Makalah Ushul Fiqh Metode Istinbath Hukum Islam . Please share...!
3 Comment for "Makalah Ushul Fiqh Metode Istinbath Hukum Islam "
semoga selalu bermanfaat,,,
Izin copas ya min. Terima kasih