Kondisi Birokrasi di Negara Berkembang

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

kondisi birokrasi di negara berkembang Birokrasi, nama ini mungkin memang tidak asing lagi dihati para pembaca, terutama pada mahasiswa/i di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan. Ketika kita membahasa tentang birokrasi, hal pertama yang terpikir dikepala anda sekalian pasti sebuah birokrasi yang gemuk, cacat penuh dengan korupsi dan juga lain sebagainya, segala bentuk pikiran negative pasti sudah terpikir dikepala anda sekalian ketika kita menyingggung tentang birokrasi. Birokrasi yang saat ini sedang berjalan di negara berkembang khususnya di Indonesia, sangat jauh dari iming-iming birokrasi yang dicita-citakan oleh Max Waber, yaitu sebuah birokrasi yang sempurna, sehat dan jauh dari kecacatan. Sungguh disayangkan saat  ini Indonesia belum bisa mewujudkan cita-cita birokrasi yang diinginkan Waber.
Indonesia sebagai sebuah Negara yang sedang berkembang, akan sangat sulit mewujudkan apa yang diinginkan oleh Weber tersebut pada sebuah organisasi, kenapa? kerana sebagai sebuah Negara yang sedang berkembang, pengaruh atau bawaan sistem klasik itu belum terlepas dari para birokratnya, karena sebagian dari mereka merasa nyaman dengan kondisi tersebut sehingga itulah yang membuat mereka tetap terus bertahan ada disana. Beda keadaanya dengan para birokrat yang memang mempunyai jiwa untuk mengubah kondisi tersebut, mereka akan pergi dari kondisi sebelumnya dan membuat perubahan pada kondisi baru yang mereka rasa itu sebuah perubahan yang baik untuk organisasi yang mereka jalankan. Sebagian birokrat mungkin sangat ingin menerapkan prinsip birokrasi Max waber tersebut, tetapi karena sabagian lainnya betah dengan kondisi mereka yang lama sehingga hal itu juga membuat para birokrat yang ingin mengubah kondisi ini merasa malas untuk mengurusi hal-hal tersebut dan pada akhirnya mereka juga ikut-ikutan orang-orang yang sebelumnya. Begitulah orang-orang Indonesia, kebanyakan dari mereka suka ikut-ikutan sebagai solusi terakhir yang mereka ambil untuk mengamankan diri.
Akibat lepas-tangannya manusia dalam mengurusi birokrasi tersebut sehingga terciptalah nantinya ketidak seimbangan dalam kebijakan publik, sehingga hal tersebut berdampak pada kebijakan publik yang berhubungan luas dengan masyarakat.






BAB II
PEMBAHASAN

A.    BIROKRASI DI NEGARA BERKEMBANG
Birokrasi ini dianggap sebagai suatu pemerintahan yang buruk oleh masyarakat Indonesia, tanpa mereka sadari bahwa sebenarnya yang buruk itu bukanlah birokrasi tetapi melainkan orang-orang yang ada didalamnya. Birokrasi ini adalah sebuah pemerintahan yang berbentuk abstrak, tetapi dia mempunyai system didalamnya yang dijalankan oleh para birokrat. Nah, para biroktat inilahlah yang membuat system yang ada didalam birokrasi tersebut menjadi buruk.
Birokrasi yang awalnya menjadi mesin perubahan yang mempunyai struktur organisasi inggul, kini justru menjadi momok, bnayak kegagalan kebijakan publik terutama di Negara-negara berkembang terjadi banyak kesalahan-kesalahan birokrasi. Birokrasi yang terlalu gemuk dan hirarkis telah menghambat kreativitas orang, praktik korupsi, dan lain sebangainya, singkatnya, birokrasi telah menjadi biang kegagalan, jauh dari imajinasi dan pandangan Max Waber.
Di Negara sedang berkembang seperti Indonesia, birokrasi menghadapi persoalan yang pelik dan menggelisahkan. Di Indonesia, birokrasi tidak hanya terlalu birokratis, tapi telah dijangkiti penyakit korupsi yang bersifat krosnis. Penyakit birokrasi ini muncul dari hasil interaksi antara struktur birokrasi yang salah dan variabel-variabel lingkungan yang salah. Dalam hal ini struktur birokrasi yang hirarkis berinteraksi dengan budaya masyarakat yang paternalistis, system politik yang tidak demokratis, dan ketidak bedayaan kelompok masyarakat sehingga memunculkan birokrasi paternalistis.
Rent-seeker ataupun red tape birokrasi sebagai salah satu penyakit birokrasi yang tampak telah membuat birokrasi tidak mampu bertindak sebagai “wasit” yang adil dalam persaingan pasar yang kopetitif sehingga distorsi akan selalu muncul karena pasar sempurna tidak pernah tercipta-dan memang tidak akan pernah tercipta- karena birokrasi “bermain” dalam pasar itu. Para pemenang tender pemerintah acap-kali sudah diputuskan jauh sebelum tender itu berlangsung. Hanya pelaku swasta yang memberikan “upeti” atau uang pelicinlah yang akan mendapatkan privilege dan akhirnya menjadi pemenang dalam persaingan. Sebaliknya, para pelaku swasta yang “pelit” tidak akan mendapatkan pelayanan yang memadai. Dalam sistuasi semacam ini, birokrasi tidak hanya menghambat kebijakan publik, tetapi juga seklaigus sebagai predator. Bahkan jika, tesis Cardoso yang mengatakan bahwa dominasi asing terjadi karena pelaku elit politik dan borjuasi local diterima, maka kuatnya dominasi asing dan pengerukan besar-besaran atas kekayaan indonesiatidak bisa dilepaskan dari buruknya korupsi ditubuh birokrasi ini. Banyak studi yang menunjukkan perilaku buruk birokrasi ini yang kemudian menjadi sebab bagi banyak kegagalan pembangunan, eksploitasi asing atas sumber daya alam dan perubahan social positif.

B.     REVITALISASI BIROKRASI DAERAH
Mengrevitalisasi birokrasi berarti menghidupakan kembali birokrasi atau membuatnya bisa menajadi lebih giat lagi. Dalam hal ini berarti hal pertama yang harus dilalukan adalah bukan mengubah system birokrasinya tetapi melainkan mainside manusianya terlebih dahulu yang harus diubah, karena manusia merupakan sabjek utama dalam suksesnya suatu birokrasi.
Revitalisasi birokrasi untuk suatu daerah itu sangat perlu dilakukan oleh pemerintah, agar pemerintah pada daerah tersebut mempunyai kemampuan berkarya dan memiliki kreativitas dalam mensejahterakan masyarakatnya.
Dalam konteks Indonesia, ada lima sebab mengapa revitalisasi birokrasi didaerah perlu dilakukan:
1.      Semangat Otonimi Daerah. Ada perbedaan yang sangat signifikan antara otonomi yang tersentralisasi dengan corak pemerintahan yang sentralistik. Pada system yang sentralistik, wewenang pembuatan keputusan berbagai urusan publik berda ditangan poemerintah pusat. Pejabat-pejabat di provinsi dan kabupaten hanya merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat. Sebaliknya, dalam system desentralisasi, s ebagaimana dikemukakan oleh Rondinelli dan Cheema, ada perpindahan kewenangan atau pembagian kekuasaan dalam perencanaan pemerintah serta manjemen dan pengambilan keputusan dari tingkat nasional ke tingkat daerah. Di sini, ada empat bentuk desentralisasi, yakni dekonsentrasi, delegasi, devolusi dan privatisasi atau debirokrasi.
Otonoi daerah yang saat ini sedang berlangsung di Indonesia tampaknya menganut desentralisasi dalam bentuk devolusi ini dimana pemerintah pusat melakukan control seminimal mungkin dan terbatas pada bidang-bidang tertentu saja. Dengan pemahaman seperti itu, desentralisasi atau otonomi memerlukan birokrasi yang mempu bekerja secara efesien mempunya sumberdaya manusia dengan kapasitas terbaik.
2.      Desakan revitalisasi pada akhirnya harus diletakkan dalam semangat demokratisasi politik saat ini. Di era demokrasi dan otonimi daerah sekarang ini, kultur birokrasi dan warisan colonial dan orde baru tidak lagi compatible. Oleh karena itu, perlu reorientasi dan penyegaran misi sehingga birokrasi mampu berkerja dalam semangat rasionalitas Max Waber dan sekaligus menjadi pengemban amanat rakyat

3.      Meningkatkan daya kritis masyarakat. Pembangunan ekonomi dan social dalam beberapa decade telah meningkatkan jumlah orang terdidik di Indonesia. Banyak diantaranya mempunyai kesempatan kuliah diluar negeri sehingga mempunyai kesempatan pula untuk menyerap dan belajar berbagai hal dari Negara lain. Hal ini akan meningkatkan kelas menengah terutama dilihat dari sisi pendidikan. Oleh karena itu, katakanlah, jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 50% dengan standar Bank Dunia (US$2 per orang per hari), maka 50% sisanya tetap merupakan jumlah yang besar. Berjalin dengan dmeokratisasi politik dan informasi, orang-orang terdidik ini akan tumbuh menjadi semakin kritis terhadap kesalahan-kesalahan birokrasi dan pemerintahan.

4.      Perubahan lingkungan global. Perubahan lingkungan yang paling menjolok adalah globalisasi atau lebih tepatnya globalisasi neoliberal.
Bagi Negara berkembang seperti Indonesia, persoalan birokrasi tidak semata bersandar pada orientasi-orientasi kualitas pelanggan, tapi juga tekanan dari lembanga-lembaga multilateral, seperti IMF, Bank Dunia, dan lembaga bisni besar yang mendesakkan kemauan mereka. Di era pasar bebas neoliberal, pemerintah dan birokrasi akan menghadapi dua persoalan pokok yang kadang saling bertentangan. Pada satu sisi, mereka menghadapi liberalisasi pasar yang sangat kuat dari lembaga-lembaga pasar neoliberal, sementara pada saat yang lain mereka harus menghadapi tuntutan proteksi dari industry-industri kecil dalam negeri. Birokrasi yang lemah dan gagal dalam menyelesaikan dilema ini akan menjungkirkan dirinya sendiri menjadi birokrasi gagal yang “dilecehkan” masyarakat. Jika hal ini terjadi, maka warga Negara akan menghukum mereka dalam proses pemilihan umum atau aksi-aksi penentangan lainnya yang menyulitkan birokrasi.

5.      Perubahan paradigm. Menurut Denhardt and Denhardt, dalam perspektif teoritik, telah terjadi pergeseran dari OPA ke NPA dan akhirnya menuju ke NPS, suatu pelayanan publik yang berlandaskan teori demokrasi yang mengajarkan adanya egalitarianism dan persamaan hak diantara warga Negara. Dalam model NPM, pemerintah dianjurkan untuk meninggalkan paradigm administrasi tradisional yang cenderung menggunakan system dan prosedur, dan menggantikannya dnegan orientasi kerja atau hasil. Sementara model NPS, kepentingan publik dirumuskan sebagai hasil dialog dari berbagai nilai yang ada dalam masyarakat, dan birokrasi yang memberikan pelayanan publik harus bertanggung jawab kepada masyarakat secara keseluruhan. Para merintah atau birokrasi disini adalah melakukan negosiasi dan menggali berbagai kepentingan dari warga Negara dan berbagai kelompok komunitas yang ada.

C.     BUDAYA BIROKRASI PEMERINTAHAN DI INDONESIA

Proses    pembangunan nasional yang berlangsung dewasa ini sedang mengalami pergeseran dari bingkai sistem otoriter ke sistem demokrasi. Hal ini menyebabkan penyelenggaraan pemerintahan menjadi sorotan yang tajam, terutama dalam aspek transparansi, akuntabilitas, efisiensi dan efektifitas. Dalam konteks ini, penerapan prinsip-prinsip good governance dalam pengelolaan pemerintahan menjadi suatu tuntutan utama, oleh karena masyarakat mulai kritis dalam memonitor dan mengevaluasi manfaat serta nilai yang diperoleh atas pelayanan dari instansi pemerintah.
Perkembangan dan pertumbuhan masyarakat yang secara dinamis disertai dengan peningkatan taraf hidup dan pendidikan masyarakat ditambah dengan berkembangnya kemajuan dibidang teknologi dan informatika menjadikan peningkatan proses empowering dalam lingkungan masyarakat. Oleh karena itu pelayanan birokrasi disektor publik juga diharapkan mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat dan dinamis sebagaimana yang terjadi di masyarakat. Dimana dari monolog harus berani diubah menjadi fleksibel, kolaboratif, alighment dan dialogis. Dan dari cara-cara sloganis yang berkembang dikalangan birokrasi model orde baru sebaiknya dirubah dengan pola kerja yang realistis, programis dan pragmatis.
Sampai saat ini aparat birokrasi pemerintah belum sepenuhnya melaksanakan tugas sesuai dengan fungsi yang dibebankan kepadanya berdasarkan  norma-norma yang ditetapkan dan diharapkan oleh masyarakat. Kondisi ini dapat dilihat melalui berbagai penyimpangan yang terjadi sehingga semakin lama semakin parah dan berakibat pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menurun. Kondisi ini diperparah dengan krisis moneter yang mengakibatkan krisis ekonomi nasional dan semuanya bermuara pada krisis kepercayaan.
Birokrasi pemerintahan sebagai suatu bentuk organisasi sedang bergeser dengan beberapa upaya korektip, mengupayakan netralitas tumbuhnya demokrasi, tumbuhnya orientasi pada masyarakat dan tumbuhnya aspirasi dan kontrol masyarakat. Birokrasi sedang bergeser dari paradigma sentralistik ke desentralistik, dari otoritarian ke egalitarian dan demokratis, dari kedaulatan Negara ke kedaulatan rakyat, dari organisasi yang besar menjadi ramping tapi kaya fungsi, dari rowing (semua dikerjakan sendiri) menjadi stering (mengarahkan). Upaya-upaya tersebut masih dibayangi oleh ketidakpastian dan sedang mencari bentuk yang tepat. Pada dasarnya upaya tersebut diarahkan untuk mendapatkan dukungan administrasi Negara yang mapan mengenai kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan tugas dan fungsi birokrasi dalam mewujudkan administrasi yang makin handal, professional, efisiensi, efektif serta tanggap terhadap aspirasi rakyat dan dinamika perubahan lingkungan.
Suatu organisasi didirikan sebagai suatu wadah untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan. Organisasi tersebut harus mengelolah berbagai dan rangkaian kegiatan yang diarahkan menuju tercapainya tujuan organisasi. Pelaksanakan rangkaian kegiatan dalam organisasi dilakukan oleh manusia (humanbeing) yang bertindak sebagai aktor atau peserta dalam organisasi yang bersangkutan, maka dengan sendirinya kinerja (performance) organisasi yang bersangkutan banyak tergantung pada perilaku manusia yang terdapat dalam organisasi tersebut.
Studi organisasi yang memusatkan perhatian pada aspek-aspek manusia tampaknya mulai berkembang dan diminati beberapa tahun terakhir ini, sehingga muncul konsep-konsep pemikiran mengenai organisasi yang didorong oleh berbagai keberhasilan organisasi dalam mengembangkan unsur manusia dalam perancangan dan penataan organisasi. Hal ini juga merupakan suatu gejala pergeseran pandangan atau konsep pemikiran di bidang organisasi yang dibangun berlandaskan pada dasar-dasar pemikiran fungsionalis ke konsep-konsep pemikiran interpretive paradigm. Salah satu gejala yang tampak dalam proses pergeseran ini adalah makin meningkatnya perhatian aspek budaya dalam studi organisasi. Tidak hanya sebagai salah satu bagian penting dalam studi organisasi, tetapi konsep budaya dipergunakan sebagai metafora untuk menjelaskan perwujudan dan hakekat organisasi. Penggunaannya dalam analisis organisasi, budaya tidak hanya dipandang sebagai sesuatu yang ada dan hidup dalam suatu organisasi, tetapi juga  sesuatu yang dipergunakan sebagai landasan pemikiran dalam pemahaman organisasi.
Sebagai suatu variabel dalam organisasi, budaya dipelajari sebagai bagian dari sistem organisasi secara keseluruhan. Dalam konteks ini, budaya dilihat sebagai sesuatu yang hidup di suatu organisasi yang mengikat semua anggota organisasi dalam upaya mencapai tujuan bersama. Budaya juga dapat dilihat sebagai bagian dari suatu lingkungan organisasi yang mempengaruhi perilaku dan penampilan (performance) organisasi.
Menurut Dwiyanto (2001) :
“Rendahnya kinerja birokrasi publik sangat dipengaruhi oleh budaya paternalisme yang masih sangat kuat, yang cenderung mendorong pejabat birokrasi untuk lebih berorientasi pada kekuasaan daripada pelayanan, menempatkan dirinya sebagai penguasa dan memperlakukan para pengguna jasa sebagai obyek pelayanan yang membutuhkan bantuannya. Disamping itu, rendahnya kinerja juga disebabkan oleh sistem pembagian kekuasaan yang cenderung memusat pada pimpinan. Struktur birokrasi yang hierarkis mendorong adanya pemusatan kekuasaan dan wewenang pada atasan sehingga pejabat birokrasi yang langsung berhubungan dengan para pengguna jasa sering tidak memiliki wewenang yang memadai untuk merespons dinamika yang berkembang dalam penyelenggaraan pelayanan”.
Ada banyak penjelasan yang dapat dipergunakan dalam rangka memahami faktor yang terkait dan berpengaruh terhadap kinerja organisasi publik. Osborne (1997) menjelaskan lima DNA sebagai kode genetika  dalam tubuh organisasi publik yang mempengaruhi kapasitas dan perilakunya. Kelima kode genetika itu adalah misi, akuntabilitas, konsekuensi, kekuasaan dan budaya, sehingga pengelolaan dari kelima sistem kehidupan organisasi publik ini akan sangat menent     ukan kualitas produk yang dihasilkan.
Di Indonesia secara etimologi budaya berasal dari kata buddhi (akal) sehingga dikembangkan menjadi budi–daya, yaitu kemampuan akal budi seseorang ataupun kelompok manusia. Banyak sarjana yang memberikan definisi tentang budaya, antara lain   Koentjoroningrat  yang mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat, yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar.
Indonesia sebagai suatu negara dengan kondisi masyarakat yang sangat heterogen dimana penduduknya terdiri kurang lebih 300 suku bangsa (etnik). Heterogenitas masyarakat yang sangat besar ini memiliki sistem nilai dan norma budaya masing-masing. Keunikan kebudayaan itu biasanya menjadi acuan berpikir dan pegangan untuk bertindak, sehingga hal ini sangat berpengaruh pada sikap hidup dan pola perilaku dalam masyarakat. Kebudayaan memiliki arti yang sangat luas dan pemaknaannya sangat beragam, serta merupakan sistem simbol yang dipakai manusia untuk memaknai kehidupan. Sistem simbol berisi orientasi nilai, sudut pandang tentang dunia, maupun sistem pengetahuan dan pengalaman kehidupan. Sistem simbol terekam dalam pikiran yang dapat diaktualisasikan ke dalam bahasa tutur, tulisan, lukisan, sikap, gerak, dan tingkah laku manusia.
Schein (1985) mengatakan  :
“Dalam proses adaptasi diasumsikan bahwa konsep budaya adalah sistem nilai yang dianut secara bersama-sama. Suatu pola asumsi dasar yang ditemukan atau dikembangkan oleh sekelompok orang ketika mereka belajar mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal yang telah berhasil baik sehingga absah untuk diajarkan kepada para anggota baru sebagai pedoman berperilaku.
Budaya adalah perilaku konvensional masyarakat dan ia mempengaruhi semua tindakan meskipun sebagian besar tidak disadarinya. Budaya memberikan stabilitas dan jaminan, karena dapat memahami hal-hal yang sedang terjadi dalam masyarakat dan mengetahui cara menanggapinya. Sebagai contoh dapat dilihat apabila seorang pegawai pindah ke tempat kerja yang lain. Dalam lingkungan yang baru pegawai dituntut untuk perlu belajar menyesuaikan diri dengan  lingkungan yang dihadapi untuk menghindari kemungkinan akan terjadi konsekwensi negatif.
Pemahaman kebudayaan yang sangat beragam tersebut terjadi karena adanya varian budaya yang disebut dengan kebudayaan lokal. Kebudayaan lokal lebih merupakan suatu tata nilai yang secara ekslusif dimiliki oleh masyarakat etnik tertentu. Adanya variasi dan keanekaragaman budaya akan mewarnai variasi pola perilaku masyarakat tempat kebudayaan tersebut berlaku. Dalam konteks tersebut, perilaku individu dalam organisasi juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh varian lokalitas budaya yang berkembang..
Birokrasi, sebagaimana organisasi lainnya tidak lepas dari pengaruh lingkungan budaya, dalam aktivitasnya juga terlibat secara intensif melalui pola-pola interaksi yang terbentuk di dalamnya dengan sistem nilai dan budaya lokal. Budaya birokrasi berkembang disuatu daerah tertentu tidak dapat dilepaskan dari pola budaya lingkungan sosial yang melingkupinya. Sehubungan dengan itu, Agus Dwiyanto (2002) mengemukakan bahwa :
“Budaya birokrasi dapat digambarkan sebagai sebuah sistem atau seperangkat nilai yang memiliki simbol, orientasi nilai, keyakinan, pengetahuan dan pengalaman kehidupan yang terinternalisasi ke dalam pikiran. Seperangkat nilai tersebut diaktualisasikan dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan yang dilakukan oleh setiap anggota dari sebuah organisasi yang dinamakan birokrasi. Setiap aspek dalam kehidupan organisasi birokrasi selalu bersinggungan dengan aspek budaya masyarakat setempat”.
Menurut Elashmawi dan Harris dalam Prawirosentono (1999)  mengatakan bahwa berbagai bangsa di dunia ini mempunyai budaya yang berbeda satu sama lain. Berdasarkan perbedaan budaya mengakibatkan perbedaan dalam perilaku  (behavior) dan sikap (attitude) dalam kegiatan organisasi, baik organisasi perusahan, rumah sakit, partai politik, organisasi militer, organisasi gereja dan sebagainya. Perbedaan bangsa karena geografis tempat tinggal asal  juga faktor lain yang menyebabkan perbedaan. Perbedaan perilaku ini berakibat  pada perbedaan hasil dalam “job performance “ (kinerja tugas) sebagai akibat dari perbedaan perilaku (behavior) dan akibat perbedaan budaya asal. Padahal budaya asal dipengaruhi juga oleh lingkungan geografi dimana mereka hidup atau berasal.
Secara umum perbedaan  perilaku dan sikap manusia terhadap kinerja dalam organisasi dalam diterangkan sebagai berikut  :
a.       Perbedaan geografis dari sumber daya manusia dimana mereka tumbuh menyebabkan sikap budaya yang berbeda dalam melaksanakan kegiatan dalam suatu organisasi.
b.       Perbedaan budaya tercermin dalam perbedaan perilaku (behavior) dan sikap (attitude) dalam melaksanakan kegiatan dalam berbagai organisasi, baik organisasi perusahan maupun organisasi keagamaan, sehingga menghasilkan tingkat kinerja yang berbeda pula.
Melalui penerapan sistem politik sentralistik dan hegemonik, negara cenderung telah mengembangkan model kebijakan dan sistem birokrasi pemerintahan yang mengarah pada penyeragaman di hampir semua aspek kebijakan. Dalam kondisi demikian, variasi-variasi dan keanekaragaman budaya lokal yang mewarnai sistem birokrasi di berbagai daerah menjadi hilang. Varian lokal dalam birokrasi berubah menjadi keseragaman budaya dengan ciri terjadinya sentralisasi kebijakan, pengambilan keputusan, ritual, etos kerja, sampai model hubungan birokrasi dengan masyarakatnya.
implementasi kebijakan  masyarakat yang bersifat sentralistik dan penyeragaman tersebut di daerah dilakukan dengan penyusunan sejumlah kebijakan teknis, yakni dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis (juklak dan juknis). Penyimpangan dari juklak dan juknis tersebut akan berakibat fatal karena selalu dianggap sebagai penyimpangan dari aturan baku dan akan mendatangkan stigma yang tidak menguntungkan bagi birokrat karena mempunyai konsekwensi terhadap karier mereka pada masa mendatang. Tidak bisa dipungkiri  bahwa budaya birokrasi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh budaya Jawa yang hirarkis dan tertutup yang membuat seseorang untuk pandai menempatkan diri dalam masyarakat.




BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Buruknya suatu birokrasi itu dikarenakan para birokratnya yang berkerja tidak sesuai  dengan prosedur pemerintah, akibat dari ketidak seusuain tersebut berefeklah kepada pelayanan masyarakat yang buruk sehingga muncul kata-kata dari mulut masyarakat bahwa birokrasilah yang buruk.
Revitalisasi pada daerah itu memang sedikit perlu dilakukan. Adapun faktor yang mendorong revitalisasi peran birokrasi didaerah mutlak dilakuakan yaitu tuntutan otonom daerah, demokratisasi politik, pertumbuhan kelas menengah kritis, globalisasi ekonomi neoliberal dan terakhir adalah perubahan paradigma publik. Dengan tuntutan tersebut revitalisasi birokrasi daerah menjadi sesuatu yang tidak bisa ditunda-tunda lagi untuk kepentingan daerah.

B.     SARAN
Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa kesalahan itu tidak terletak pada system, tetapi kesalahan itu terletak pada manusianya. Jika kita ingin suatu pembaharuan, maka hal pertama yang harus diubah itu adalah pola pikir manusianya, paradigma manusianya, karena mereka merupakan penggerak utama/segalanya. Jika paradigmanya sudah berubah maka sistemnya akan otomatis berubah dengan sendirinya.





DAFTAR PUSTAKA
Budi Winarno, 2014. “Kebijakan Publik”, Jakarta: PT Buku Seru
Labels: MAKALAH

Thanks for reading Kondisi Birokrasi di Negara Berkembang. Please share...!

0 Comment for "Kondisi Birokrasi di Negara Berkembang"

Back To Top